
Ekspor Biofuel RI ke Eropa Ditarget 1,8 Juta Kiloliter
Samuel Pablo, CNBC Indonesia
13 February 2018 18:54

Jakarta, CNBC Indonesia – Ekspor biofuel ke Eropa pada tahun ini ditargetkan mencapai 1,8 juta kiloliter atau sama dengan 2014 saat Indonesia belum dikenakan pengenaan bea masuk anti-dumping oleh Uni Eropa.
(ray/ray) Next Article AS dan Uni Eropa Masih Hambat Ekspor Biofuel RI
Adapun pada bulan lalu Indonesia memenangkan gugatan terhadap Uni Eropa di Badan Penyelesaian Sengketa WTO terkait kebijakan anti-dumping tersebut.
"Dengan menangnya Indonesia di WTO, harapan kami ekspor tahun ini ya setidaknya sama dengan 2014, yakni 1,8 juta kiloliter," ujar Sekjen Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi) Paulus Tjakrawan usai pertemuan dengan European Palm Oil Alliance (EPOA) di Hotel Pullman, Selasa (13/2/2018).
Dia mengatakan dalam tiga tahun terakhir ekspor biofuel berbasis sawit ke Eropa sangat kecil karena pengenaan bea masuk anti-dumping yang mencapai 22%. Menyusul hal tersebut, lanjutnya, produksi biofuel berbasis sawit nasional pada tahun 2017 hanya 2,6 juta kiloliter atau turun 16,12% dari tahun sebelumnya sebesar 3,1 jutakilo liter.
Paulus mengungkapkan meski saat ini bea masuk anti-dumping harus dicabut oleh Uni Eropa, namun parlemen Uni Eropa telah merekomendasikan larangan impor biofuel berbasis kelapa sawit pada 2021.
"Kalau [aturan] ini sampai berlaku, tahun 2021 kami sulit. Industri tahun ini mulai mempersiapkan diri pasca tiga tahun dikenakan bea anti-dumping, tapi masa cuma ekspor tiga tahun lalu 2021 stop lagi? Dampaknya tidak akan bisa ekspor, padahal pasar Eropa itu besar," kata Paulus.
Dia menganggap rencana larangan impor Uni Eropa tidak konsisten dengan kebijakan mereka sebelumnya terkait kelapa sawit, juga bersifat diskriminatif.
"Kami anggap Eropa tidak konsisten karena sebelumnya mereka sudah menyepakati Amsterdam Declaration di mana semua kelapa sawit yang diimpor pada 2020 harus berkelanjutan. Lantas kenapa 2021 mau dilarang? Lalu, larangan terhadap minyak nabati lainnya ditetapkan tahun 2030, ini artinya diskriminasi terhadap kelapa sawit. Ini masalahnya nanti bisa sengketa lagi di pengadilan Eropa atau WTO," jelas Paulus.
"Dengan menangnya Indonesia di WTO, harapan kami ekspor tahun ini ya setidaknya sama dengan 2014, yakni 1,8 juta kiloliter," ujar Sekjen Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi) Paulus Tjakrawan usai pertemuan dengan European Palm Oil Alliance (EPOA) di Hotel Pullman, Selasa (13/2/2018).
Paulus mengungkapkan meski saat ini bea masuk anti-dumping harus dicabut oleh Uni Eropa, namun parlemen Uni Eropa telah merekomendasikan larangan impor biofuel berbasis kelapa sawit pada 2021.
"Kalau [aturan] ini sampai berlaku, tahun 2021 kami sulit. Industri tahun ini mulai mempersiapkan diri pasca tiga tahun dikenakan bea anti-dumping, tapi masa cuma ekspor tiga tahun lalu 2021 stop lagi? Dampaknya tidak akan bisa ekspor, padahal pasar Eropa itu besar," kata Paulus.
Dia menganggap rencana larangan impor Uni Eropa tidak konsisten dengan kebijakan mereka sebelumnya terkait kelapa sawit, juga bersifat diskriminatif.
"Kami anggap Eropa tidak konsisten karena sebelumnya mereka sudah menyepakati Amsterdam Declaration di mana semua kelapa sawit yang diimpor pada 2020 harus berkelanjutan. Lantas kenapa 2021 mau dilarang? Lalu, larangan terhadap minyak nabati lainnya ditetapkan tahun 2030, ini artinya diskriminasi terhadap kelapa sawit. Ini masalahnya nanti bisa sengketa lagi di pengadilan Eropa atau WTO," jelas Paulus.
(ray/ray) Next Article AS dan Uni Eropa Masih Hambat Ekspor Biofuel RI
Most Popular