
Sektor Riil
Kenapa Indonesia Impor Beras Melulu?
Arys Aditya, CNBC Indonesia
13 January 2018 16:31

- Data Pemerintah belum presisi sehingga menyulitkan perhitungan valid mengenai neraca kebutuhan bahan pokok.
- Angka cadangan beras 1,52-1,82 juta ton yang dipegang oleh Kementerian Pertanian belum ditetapkan sebagai angka cadangan nasional.
Jakarta, CNBC Indonesia — Keputusan Pemerintah melalui Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita untuk melakukan importasi beras sebanyak 500.000 ton dari Thailand, Vietnam, Pakistan dan Myanmar pekan ini menjadi trending topic di media sosial.
Banyak warganet yang mempertanyakan dan menyindir keputusan tersebut karena bertentangan dengan misi Pemerintah untuk mengentaskan Indonesia dari persoalan impor alias swasembada.
Sejatinya, persoalan importasi beras seperti penyakit menahun. Pemerintah selalu dihantui masalah kenaikan harga yang beriringan dengan kelangkaan barang di pasar apabila terjadi anomali musim, dan yang lebih mengerikan, perangai spekulan.
Misalnya, Badan Pemeriksa Keuangan pernah melakukan audit terhadap kebijakan impor beras yang dilakukan Pemerintah pada 2014. Sebelumnya, BPK juga pernah melansir audit terhadap kebijakan impor pada 2012.
Anggota IV BPK Rizal Djalil menuturkan, kebijakan impor yang terjadi berkali-kali menunjukkan bahwa tidak ada sistem verifikasi atas data Badan Pusat Statistik (BPS).
Ketika melakukan audit tersebut, BPK menemukan bahwa belum ada sinkronisasi data antara BPS kabupaten dan provinsi. “[Jadi datanya] tidak akuntabel karena tidak ada sistem yang memadai,” tuturnya.
Selain itu, hingga akhir pemeriksaan oleh BPK, dia menyatakan tidak ada penetapan jenis dan jumlah cadangan ideal. Angka cadangan 1,52-1,82 juta ton yang dipegang oleh Kementerian Pertanian, lanjutnya, belum ditetapkan sebagai angka cadangan nasional.
“Data stok bulog sebagai salah satu trigger [impor] belum diatur batas minimal dan jenisnya, serta cadangan beras minimal. Kami kan tidak mungkin membiarkan masyarakat kekurangan pangan,” ungkapnya.
Adapun, pengamat ekonomi perberasan Khudori mengatakan sejumlah alat pengumpulan data dan konversi yang menjadi pedoman perhitungan statistik dasar pertanian BPS perlu dimutakhirkan.
"Di sisi hulu, konversi gabah kering panen (GKP) menjadi gabah kering giling (GKG) sebesar 86,02% yang kemudian menjadi beras dengan angka rendemen 62,74% perlu dilacak asal-usul dan kemutakhirannya," ujarnya.
Khudori mengungkapkan, di sisi hilir atau konsumsi, asumsi konsumsi beras per kapita nasional sebesar 139,15 kg yang digunakan sejak 2005 juga masih misterius dan lebih merupakan kesepakatan politik.
Mantan anggota Kelompok Kerja (Pokja) Ketahanan Pangan ini menyebutkan, pada 2012 Badan Ketahanan Pangan sudah memperbarui tingkat konsumsi beras menjadi 113 kg/kapita/tahun, tetapi tidak pernah digunakan.
(roy) Next Article Jokowi Sambangi Gudang Bulog, Intip Pasokan Beras 2019
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular