
Rally Harga Minyak, Cermati Saham Migas
Antonhy Kevin & Monica Wareza, CNBC Indonesia
08 January 2018 14:18

- Kenaikan harga minyak dunia diperkirakan hanya sementara
- Krisis Iran berpotensi berlangsung lama, dan AS bisa jadi pemicu krisis berkepanjangan
- Belum akan adanya resolusi dari masalah-masalah ekonomi serta perubahan kebijakan luar negeri dalam waktu dekat dapat membuat demonstrasi ini berlangsung dalam waktu yang panjang
Jakarta, CNBC Indonesia – Kalangan analis pasar saham menilai tren kenaikan harga minyak hanya bersifat sementara karena pemicunya bukan permintaan (demand) riil. Para spekulan minyak cendeung memanfaatkan kekhawatiran kondisi geopolitik timur tengah, khususnya Iran, yang saat ini sedang memanas.
Head of Research Koneksi Capital Alfred Nainggolan menjelaskan sentimen kenaikan harga minyak tersebut akan di transmisikan investor ke harga saham dari emiten yang kegiatan usahanya di sektor minyak dan gas bumi. Ada kemungkinan harga saham-saham dari sub sektor migas menguat dalam jangka pendek, apalagi secara valuasi harga saham-saham dari sub sektor tersebut sudah relatif murah.
“Makanya untuk jangka pendek (kinerja saham migas) banyak bergantung pada kenaikan harga spot (minyak). Investor medium dan long term akan kepada harga kontrak (emiten), biasanya dipubilkasi emitennya. Seharusnya kenaikan harga minyak sekarang sedang naik, dan akan koreksi dalam jangka pendek, seharusnya tidak akan berpengaruh signifikan,” jelas Alfred.
Namun, tambah Alfred, harga saham emiten migas berpotensi menguat signifikan jika harga minyak menembus level US$ 80 hingga US$ 90 per barel. Alfred meprediksi harga minyak dunia tahun ini berada pada kisaran US$ 60 – US$ 70 per barel.
“Kalau kenaikan di atas itu, bisa ada reaksi berlebihan (over reaction) dari para pelaku pasar saham,” kata Alfred.
Bisa Memburuk
Berdasarkan analisis CNBC Indonesia, krisis politik yang terjadi di Iran memang belum mempengaruhi produksi dan ekspor minyak mentah mereka. Namun, perlu dicermati pula bahwa krisis ini dapat berlangsung dalam jangka waktu yang lama, sehingga pada akhirnya dapat menganggu produksi minyak.
Pemerintah Iran sudah membatalkan rencana kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) dan memperperbesar bantuan sosial bagi warga miskin. Namun aksi demonstrasi tak berhenti, yang menunjukkan kondisi perekonomian di Iran yang semakin memburuk.
Memang, usai dicabutnya mayoritas sanksi ekonomi bagi Iran pada awal 2016, kondisi ekonomi masih sangat jauh dari kategori baik. Bayangkan saja, tingkat pengangguran per kuartal II 2017 berada pada level 12,6%, jauh lebih tinggi dibandingkan pada kuartal 4 2015 (sebelum sanksi dicabut) di level 10,7%.
Belum akan adanya resolusi dari masalah-masalah ekonomi serta perubahan kebijakan luar negeri dalam waktu dekat dapat membuat demonstrasi ini berlangsung dalam waktu yang panjang, sama seperti yang terjadi pada tahun 2009, di mana ketidakpuasan atas hasil pemilihan presiden pada saat itu berbuntut kepada demonstrasi yang terjadi selama 7 bulan lamanya.
Situasi juga diperparah oleh pernyataan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump bahwa sanksi bagi Iran, termasuk di dalamnya larangan ekspor minyak, dapat diberlakukan kembali, seiring dengan tuduhan keterlibatan Iran dalam pembiayaan aksi terorisme.
Jika sanksi diberlakukan kembali, maka pasokan minyak dunia akan menurun di tengah-tengah pemulihan ekonomi global; hal ini lagi-lagi berpotensi mendorong harga minyak naik. Dalam jangka pendek, badai salju yang menerpa AS juga berpotensi meningkatkan permintaan minyak mentah.
Bahkan, The Blackstone Group L.P., sebuah manajer investasi asal AS dengan dana kelolaan senilai US$ 387 miliar, memasukkan kemungkinan harga minyak menembus US$ 80 per barrel sebagai salah satu dari 10 kejutan yang mungkin terjadi pada tahun ini.
Head of Research Koneksi Capital Alfred Nainggolan menjelaskan sentimen kenaikan harga minyak tersebut akan di transmisikan investor ke harga saham dari emiten yang kegiatan usahanya di sektor minyak dan gas bumi. Ada kemungkinan harga saham-saham dari sub sektor migas menguat dalam jangka pendek, apalagi secara valuasi harga saham-saham dari sub sektor tersebut sudah relatif murah.
“Makanya untuk jangka pendek (kinerja saham migas) banyak bergantung pada kenaikan harga spot (minyak). Investor medium dan long term akan kepada harga kontrak (emiten), biasanya dipubilkasi emitennya. Seharusnya kenaikan harga minyak sekarang sedang naik, dan akan koreksi dalam jangka pendek, seharusnya tidak akan berpengaruh signifikan,” jelas Alfred.
“Kalau kenaikan di atas itu, bisa ada reaksi berlebihan (over reaction) dari para pelaku pasar saham,” kata Alfred.
![]() |
Bisa Memburuk
Berdasarkan analisis CNBC Indonesia, krisis politik yang terjadi di Iran memang belum mempengaruhi produksi dan ekspor minyak mentah mereka. Namun, perlu dicermati pula bahwa krisis ini dapat berlangsung dalam jangka waktu yang lama, sehingga pada akhirnya dapat menganggu produksi minyak.
Pemerintah Iran sudah membatalkan rencana kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) dan memperperbesar bantuan sosial bagi warga miskin. Namun aksi demonstrasi tak berhenti, yang menunjukkan kondisi perekonomian di Iran yang semakin memburuk.
Memang, usai dicabutnya mayoritas sanksi ekonomi bagi Iran pada awal 2016, kondisi ekonomi masih sangat jauh dari kategori baik. Bayangkan saja, tingkat pengangguran per kuartal II 2017 berada pada level 12,6%, jauh lebih tinggi dibandingkan pada kuartal 4 2015 (sebelum sanksi dicabut) di level 10,7%.
Belum akan adanya resolusi dari masalah-masalah ekonomi serta perubahan kebijakan luar negeri dalam waktu dekat dapat membuat demonstrasi ini berlangsung dalam waktu yang panjang, sama seperti yang terjadi pada tahun 2009, di mana ketidakpuasan atas hasil pemilihan presiden pada saat itu berbuntut kepada demonstrasi yang terjadi selama 7 bulan lamanya.
Situasi juga diperparah oleh pernyataan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump bahwa sanksi bagi Iran, termasuk di dalamnya larangan ekspor minyak, dapat diberlakukan kembali, seiring dengan tuduhan keterlibatan Iran dalam pembiayaan aksi terorisme.
Jika sanksi diberlakukan kembali, maka pasokan minyak dunia akan menurun di tengah-tengah pemulihan ekonomi global; hal ini lagi-lagi berpotensi mendorong harga minyak naik. Dalam jangka pendek, badai salju yang menerpa AS juga berpotensi meningkatkan permintaan minyak mentah.
Bahkan, The Blackstone Group L.P., sebuah manajer investasi asal AS dengan dana kelolaan senilai US$ 387 miliar, memasukkan kemungkinan harga minyak menembus US$ 80 per barrel sebagai salah satu dari 10 kejutan yang mungkin terjadi pada tahun ini.
(hps) Next Article Dilema Utak-Atik Formula Harga BBM
Most Popular