
Belum Final, DPR Bahas Pembentukan Badan Otonom Khusus Pajak
Chandra Gian Asmara, CNBC Indonesia
08 January 2018 08:44

- Meskipun secara prinsip sudah diterima parlemen, tapi konsep dari pemerintah menjadikan DJP seperti Internal Revenue Service (IRS) di Amerika Serikat perlu pembahasan mendalam.
- Kewenangan ini berpotensi meluas sebagai konsekuensi dari rezim Automatic Exchange of Information (AEoI) yang akan berlaku mulai pertengahan tahun ini,
Jakarta, CNBC Indonesia - Upaya pemerintah memisahkan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dari Kementerian Keuangan masih belum mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Pembentukan Badan Otonom Khusus yang menangani pajak langsung di bawah Presiden, diharapkan bisa efektif dalam menjaring penerimaan negara.
Berdasarkan dokumen Daftar Invetarisasi Masalah (DIM) yang akhir tahun lalu diserahkan kepada parlemen, yang sedang di bahas Panitia Kerja Rancangan Undang-Undang (RUU), yaitu Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). “Hal ini (badan otonom khusus pajak) sedang dibicarakan dan didiskusikan. Sampai saat ini belum ada kesepakatan akhir,” kata Anggota Komisi XI Fraksi Nasdem Johnny G. Plate melalui pesan singkatnya kepada CNBC Indonesia, Senin (8/1/2018).
Johnny menjelaskan, rencana membentuk Badan Otonom Penerimaan Negara yang langsung di bawah tanggung jawab Presiden, memang menjadi perhatian khusus dalam Panitia Kerja RUU KUP. Meskipun secara prinsip sudah diterima parlemen, tapi konsep dari pemerintah menjadikan DJP seperti Internal Revenue Service (IRS) di Amerika Serikat perlu pembahasan mendalam.
“Parlemen mendukung revisi RUU KUP. Tapi rencana membentuk Badan Otonom Penerimaan Negara, hal ini sedang di bicarakan dan di diskusikan. Sampai saat ini belum ada kesepakatan akhir,” jelasnya.
Berdasarkan poin 5 (f) bab umum RUU KUP yang diserahkan kepada parlemen, disebutkan bahwa DJP akan bertanggung jawab kepada Presiden, meskipun dalam pelaksanaan tugas, fungsi, dan kewenangan masih di bawah komandi menteri keuangan.
Berikutnya, dalam Pasal 124 ayat 1, lembaga ini diproyeksikan beroperasi efektif paling lambat 1 Januari tahun ini. Kepala lembaga ini juga akan mengambil alih seluruh kewenangan menteri keuangan dalam bidang perpajakan, termasuk akses data nasabah perbankan.
Kewenangan ini berpotensi meluas sebagai konsekuensi dari rezim Automatic Exchange of Information (AEoI) yang akan berlaku mulai pertengahan tahun ini, seperti telah diratifikasi oleh Indonesia melalui UU No 9/2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan.
Dalam hierarki perundang-undangan, pengesahan RUU ini harus ditindaklanjuti oleh penerbitan Peraturan Presiden (Perpres) mengenai ketentuan dan pengukuhan organisasi lembaga penerimaan pajak. Selanjutnya, Presiden akan meneken Keputusan Presiden (Keppres) untuk pengangkatan kepala lembaga.
(hps/hps) Next Article Alibaba CS Pungut PPN 1 November Hingga Defisit Anggaran AS
Most Popular