Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar saham Indonesia kembali bergairah. Buktinya Indeks Harga Saham Gabungan berhasil kembali ke level 7.000 setelah selama Juli tertekan. Lantas saham apa saja yang bisa dipilih investor?
1. Pilih Saham dari Sektor yang Diuntungkan Saat Kondisi Ekonomi Indonesia Solid
Ekonomi Indonesia bertumbuh solid di kala dunia terancam perlambatan ekonomi. Pada kuartal II/2022, ekonomi Indonesia mampu bertumbuh 5,44% year-on-year/yoy.
Bertumbuhnya ekonomi Indonesia didorong oleh pembukaan kembali aktivitas masyarakat. Momen Lebaran yang tidak lagi 'digembok' seperti dua tahun sebelumnya, menjadi kunci.
Penyebabnya terjadi redistribusi kekayaan dan perputaran uang yang tinggi menandakan tingkat konsumsi masyarakat meningkat. Konsumsi ini yang paling berpengaruh karena kontribusinya terhadap ekonomi yang diukur dengan Produk Domestik Bruto (PDB) mencapai 50% lebih.
Hal lain adalah "durian runtuh" dari harga komoditas dunia yang menguat. Indonesia sebagai pemasok komoditas seperti batu bara, minyak kelapa sawit (Crude Palm Oil/CPO), nikel, tembaga, olahan minyak, dan lainnya pastinya diuntungkan.
Harga acuan yang tinggi membuat harga jual juga meningkat. Sehingga meskipun secara volume penjualan tidak naik, namun 'ledakan' harga membuat nilai ekspor meningkat. Sejalan dengan itu, pundi-pundi rupiah juga naik.
Hasilnya pendapatan negara baik dari pajak, royalti, hingga bukan pajak (PNBP) meningkat dan mendorong pendapatan negara.
Ini membuat investor happy karena saat suatu negara yang ekonominya bertumbuh akan jadi rumah yang nyaman bagi dana investasi.
Aktivitas ekonomi yang berjalan membuat sektor-sektor bergerak sehingga menghidupkan kembali bisnis perusahaan. Dampak pertumbuhan secara makro yang dirasakan, membuat pertumbuhan profitabilitas.
Semua sektor berdampak positif dari ekonomi yang bertumbuh. Namun, jika harus memilih, emiten sektor perbankan dan tambang bisa jadi yang terdepan.
Saat ekonomi tumbuh, iklim kredit akan membaik. Bank pun berpotensi meningkatkan pendapatan bunga dari kredit yang meningkat dan lancar. Begitu juga dengan perusahaan tambang, di mana profitabilitasnya akan terdorong karena harga rata-rata jual (Average Selling Price/ASP) yang tinggi.
2. Kinerja Keuangan Prima
Setelah mengelompokkan sektor yang diuntungkan, memilih emiten berdasarkan kinerja keuangan adalah satu hal yang utama bagi investor. Dari laporan keuangan investor bisa mendapatkan beragam informasi. Tak hanya melulu soal "cuan" perusahaan tapi juga kesehatan, daya tahan, kondisi, hingga risiko.
Ada dua metode analisis laporan keuangan yang bisa dilakukan investor yakni secara horizontal dan vertikal.
Metode horizontal adalah membandingkan objek atau pos pada laporan keuangan yang sama pada periode yang berbeda. Misalnya membandingkan pendapatan tiap tahunnya atau dengan kuartal sebelumnya.
Biasanya periode yang digunakan adalah selama lima tahun atau bahkan 10 tahun. Karena bisa melihat aktivitas perusahaan dalam satu siklus bisnis.
Adapun metode vertikal adalah metode untuk melihat kinerja keuangan perusahaan dengan membandingkan tiap pos. Misalnya saja membandingkan utang dengan aset yang berfungsi mengukur kesehatan perusahaan. Contoh lain adalah laba kotor dengan pendapatan yang bertujuan mengukur efisiensi perusahaan dalam mengelola biaya mendapatkan pendapatan.
Untuk mempermudah, investor bisa menggunakan 4 alat ukur berupa rasio keuangan dalam metode vertikal yakni rasio:
3. Saham dengan Valuasi Relatif Murah
Harga saham yang berada di bursa merupakan penilaian dari investor. Seringkali harga bergerak tidak sesuai dengan nilai suatu perusahaan sebenarnya.
Ada banyak faktor yang menyebabkan ketidaksesuaian antara harga di pasar dengan nilai sesungguhnya dari perusahaan. Contohnya karena adanya rasa panik investor bahkan hingga merasa Fear of Missing Out (FOMO), sehingga investor menjadi tidak rasional. Ini adalah fenomena yang sangat wajar di pasar saham.
Penggerak dari rasa panik atau FOMO tersebut adalah ekspektasi pasar berlandaskan informasi atau rumor yang beredar di kalangan investor itu sendiri.
Harga saham seringkali bisa naik dengan cepat dan tinggi saat investor secara bersamaan melakukan aksi beli. Namun, bisa langsung turun tajam saat terjadi aksi jual. Padahal tidak mencerminkan nilai sesungguhnya dari perusahaan tersebut.
Saat pasar bereaksi berlebihan terhadap suatu saham, investor yang sudah mengenali fundamental perusahaan tersebut bisa mengambil peluang untuk cuan.
Misalnya saja saat 2020 kejatuhan IHSG, banyak perusahaan yang tiap tahunnya menghasilkan laba triliunan rupiah harga sahamnya anjlok hingga 20% lebih. Bagi perusahaan yang sudah mature dan memiliki bisnis yang kuat, harga saham turun berada di nilai wajarnya atau disebut undervalue.
Pada saat itulah investor bisa membeli saham tersebut. Sebab harga akan selalu kembali ke harga fundamentalnya.
Ada banyak alat valuasi yang bisa digunakan tetapi yang paling umum dan mudah bagi investor adalah Price to Earnings Ratio (PER) dan Price to Book Value (PBV).
Analisis dengan rasio ini bisa secara horizontal maupun vertikal. Secara horizontal adalah membandingkan rasio dengan perusahaan di sektor yang sama dan di tingkat yang sama atau dengan industri.
Contohnya membandingkan BBCA, BBRI, BMRI, dan BBNI. Ini karena keempatnya merupakan sektor perbankan dan di tingkat yang sama yakni KBMI 4. Khusus perbankan, investor menggunakan rasio PBV.
Cara kedua adalah membandingkan valuasinya dengan rata-rata pergerakan historis. Bisa dibandingkan dengan rata-rata 5 tahun lalu.
Misalnya saham PT Astra Internasional Tbk (ASII) saat ini memiliki PER 9,39x. Sementara rata-rata dalam lima tahun, PER ASII sebesar 13,58x. Ini artinya secara valuasi ASII saat ini relatif murah karena berada di bawah rata-rata PER nya.
Begitu juga dengan BBRI yang saat ini memiliki PBV 2,31x. Sedangkan rata-rata PBV dalam lima tahun BBRI berada di 2,51x. Ini bisa diartikan bahwa valuasi BBRI relatif murah.
Perlu digarisbawahi, menggunakan valuasi dengan historis harus selalu dibarengi dengan penilaian keseluruhan bisnis dan kinerja keuangan supaya tidak terjebak dengan value trap.
 Foto: Stockbit PER Band |
4. Manfaatkan Momentum dengan Teknikal
Selain analisis fundamental, analisis teknikal juga bisa digunakan oleh investor. Analisis teknikal digunakan untuk memanfaatkan momentum penurunan harga yang kemudian menjualnya saat harga lebih tinggi atau mahal.
Ada beragam indikator untuk menganalisis teknikal, seperti moving average, fibbonacci, RSI, Stochastic, dan lainnya. Namun, gunakanlah yang paling sesuai dengan karakter. Sebab tiap individu akan memiliki senjatanya masing-masing.
Karena tiap orang punya senjata masing-masing untuk 'berperang' maka trial and error adalah hal yang wajar. Metode yang tepat akan menghasilkan cuan.
Beli ketika saham berada di area oversold dan jual ketika harga sudah overbought.
 Foto: Teknikal Teknikal |
TIM RISET CNBC INDONESIA