Kriptomologi

Tak Punya Nilai Fundamental, Ini yang Bikin Kripto Diburu

Arif Gunawan, CNBC Indonesia
01 May 2021 15:20
Pusat Penambangan Bitcoin
Foto: REUTERS/Christinne Muschi

Jakarta, CNBC Indonesia - Memasuki tahun 2021, mata uang kripto kian menggila dengan pecah rekor tertinggi barunya, seperti yang diperlihatkan Bitcoin dan Ethereum. Tanpa nilai fundamental, para pengguna menciptakan nilai 'adikodrati' mata uang digital, sehingga membuatnya bersinar.

Lompatan harga mata uang kripto yang tinggi ini seolah menampar pejabat pemerintah, bank sentral dan bahkan ekonom wahid tingkat dunia yang sebelumnya menilai mata uang kripto adalah aset yang lahir dari dan untuk spekulasi, dan tidak memiliki nilai fundamental di dalamnya.

Menteri Keuangan AS Janet Yellen, misalnya, menyebut aset ini berbahaya karena sangat tidak efisien dijadikan alat bertransaksi tetapi menjadi ajang spekulasi tingkat tinggi. Seruan yang sama juga dikeluarkan bos bank sentral AS Jerome Powell, dengan menyebut Bitcoin dkk itu sebagai "kendaraan spekulasi."

Bahkan ekonom Nouriel Roubini yang merupakan profesor ekonomi di Stern School of Business, New York University, dengan lugas menyebutkan bahwa Bitcoin adalah "gelembung yang diciptakan sendiri."

"Secara fundamental, bitcoin bukanlah mata uang. Itu bukan unit akun, juga bukan alat pembayaran terukur, dan bukan penyimpan nilai (store of value) yang stabil," kata ekonom berjulukan Dr. Doom tersebut sebagaimana diberitakan Business Insider, Jumat (19/2/2021).

Dalam penelitian ilmiah berjudul "Speculative Bubbles in Bitcoin Markets? An Empirical Investigation into The Fundamental Value of Bitcoin"(2015), peneliti Sheffield University Cheah Eng-Tuck dan John Fry menemukan kesimpulan bahwa nilai fundamental Bitcoin adalah "nol."

Lalu apa sebenarnya yang membuat para trader dan pencinta mata uang kripto meyakini sebaliknya? Untuk mendapatkan jawabannya, kita perlu menelusuri dan membandingkan sifat alamiah mata uang kripto dengan aset yang dianggap sejenis, yakni emas dan mata uang kertas.

Emas memiliki nilai intrinsik. Ia juga bisa dijadikan alat penyimpan nilai sehingga seluruh dunia menerima dan mengoleksinya sebagai aset investasi. Ketika orang membeli emas, dia tahu betul bahwa siapapun bakal mengakui dan menerima bahwa yang dia beli adalah logam bernilai.

Logam mulia ini juga pernah diakui sebagai alat tukar dan alat pembayaran di peradaban lampau berbagai negara. Kini, fungsi tersebut telah digantikan oleh uang kertas (fiat money) yang, seperti halnya mata uang kripto, sebenarnya tidak memiliki nilai intrinsik.

Lalu sama-sama tak bernilai intrinsik, kenapa mata uang kertas diterima sebagai alat pembayaran sedangkan mata uang kripto diragukan dan "dinyinyiri" terus oleh tokoh pemerintahan dan ekonom seluruh dunia?

Berbeda dari emas, uang kertas memang tidak memiliki nilai intrinsik karena hanya dibuat sekian detik di mesin cetak. Namun ia bernilai, dipercaya sebagai alat tukar, alat pembayaran, dan alat penyimpan nilai karena keberadaan negara. Negara yang membuatnya bernilai.

Kertas yang ditandatangani oleh pejabat negara tersebut menyimpan nilai 'adikodrati', berupa kemampuan untuk ditukarkan dengan barang dan jasa secara langsung-meski semua orang mengetahui yang dipindahtangankan itu kodratnya hanyalah sepotong kertas.

Sederhananya, nilai fundamental uang kertas muncul ketika dia bisa dipertukarkan (alias menjadi alat tukar) dan diterima sebagai alat pembayaran yang sah. Poinnya terletak pada: penentu ada/tidaknya nilai fundamental sebagai alat tukar. Bukan pada benda yang dipertukarkan itu.

Seandainya negara sekarang menentukan batu cadas sebagai alat tukar, maka saat itu pula warga Gunung Kidul-yang tinggal di kawasan cadas-menjadi kaya raya. Batu di sekitar mereka menjadi bernilai dan bisa dipakai untuk membayar utang dan membeli kapal pesiar.

Sebaliknya, seandainya Bank Indonesia (BI) sekonyong-konyong mengumumkan bahwa rupiah sekarang tidak berlaku, dan misalnya diganti Oeang Rakyat Indonesia (ORI) zaman dulu, maka seketika itu pula nilai positif uang di dompet kita langsung musnah.

Dalam hal ini, mata uang kripto berada satu kasta di bawah uang kertas. Jangankan punya nilai intrinsik, bentuk fisik saja ia tak ada. Dia hanya memiliki wujud maya (digital) yang bisa dibuktikan, terekam, dan nyaris muskil dimanipulasi, berkat kecanggihan teknologi blockhain.

Muncul sejak tahun 2009, Bitcoin dkk memang tidak lantas bisa dipakai bertransaksi di dunia nyata. Namun di dunia maya, sejak tahun 2011 Bitcoin telah dipakai sebagai alat tukar dan alat pembayaran oleh sesama pelaku jual-beli di pasar gelap (black market), yakni Silk Road.

Aplikasi darknet (internet gelap yang tak bisa diakses dengan protokol biasa) ini dikembangkan oleh Ross Ulbricht. Ketika Ross ditangkap pihak berwenang setelah orang-orang bertransaksi narkoba di Silk Road, mereka menemukan Bitcoin yang bernilai nyaris US$ 1 miliar di jaringan tersebut.

Diakui ataupun tidak, Ross adalah sumbu yang mengaitkan alasan keberadaan (raison d'étre) Bitcoin dengan Silk Road. Milenial, yang baru berusia 29 tahun ketika merilis Silk Road tersebut, adalah penganut mazhab ekonomi libertarian yang menolak sentralisme fiskal dan moneter di ekonomi.

Menurut dia, masyarakat harus diberi ruang untuk menentukan peredaran barang dan jasa dalam sistem yang setara dan otonom. Kaum libertarian menolak sentralisasi kebijakan dan peredaran mata uang-sesuatu yang menurut Nouriel, dalam tulisan berjudul "The Big Blockhain Lie" (2018), sebagai gerakan libertarian anarkis.

Namun kini mata uang kripto kian populer setelah beberapa konglomerat menerimanya sebagai alat pembayaran, seperti misalnya Elon Musk-yang gemar pompom kripto dan kemarin perusahaannya meraup Rp 1,5 triliun dari trading Bitcoin. Hal ini terjadi karena Amerika Serikat (AS) memang menjadi negara yang paling terbuka terhadap Bitcoin.

Sebagai mata uang digital, Bitcoin dkk tak perlu tandatangan negara untuk menentukan bahwa ia memiliki nilai adikodrati sebagai alat tukar dan alat pembayaran. Semuanya terjadi secara konsensual, ditentukan oleh para penggunanya sendiri, sebagaimana falsafah ekonom libertarian.

Seorang pengguna Silk Road di Indonesia bisa membeli mobil milik pengguna lain yang tinggal di AS dengan Bitcoin. Metode pembayaran demikian membuat mereka mem-bypass sistem pembayaran yang ribet dan mahal antar bank lintas negara. Ini kelebihan aset kripto.

Kini mata uang kripto tak hanya dipakai di dunia maya melainkan juga coba dibuat mengada di kehidupan nyata oleh penyedia platform jual-beli kripto. Binance, misalnya, memungkinkan penggunanya memiliki token kripto yang ber-underlying asset saham Microsoft dan Apple.

Jika ada pembagian dividen di saham tersebut, pemegang token ikut kebagian. Namun untuk bertransaksi di dunia nyata dengan bebas dan manasuka di outlet dan pasar seluruh dunia? Nanti dulu, masih jauh. Terlebih, ada kabar bank sentral berencana membangun blockchain mereka yang otomatis membuat hegemoni uang kertas tak (boleh) tergantikan.

Hanya saja, spekulasi bahwa dunia menuju ke arah sana (penggunaan mata uang kripto di dunia nyata) terus membumbung. Setiap ada kabar tentang satu atau dua pengusaha merangkul atau memberi layanan transaksi blockchain, harga mata uang kripto pun terpompa. Terbaru, bursa mata uang kripto Coinbase mencatatkan saham di bursa New York.

qFoto: Pergerakan Saham Coinbase, Sumber: CNBC

Sembari menunggu penggunaan kripto di dunia nyata, beberapa konglomerat seperti Elon memutuskan memakai Bitcoin sebagai alat investasi. Hal ini menjadikan aset kripto ini memiliki nilai ketiga, yakni menyimpan nilai (store of value). Catat, penentu nilai aset kripto bukanlah bank sentral ataupun negara, melainkan komunitasnya sendiri.

Pada titik ini, aset kripto telah menjadi hibrida emas dan mata uang kertas di alam maya (digital). Di satu sisi ia seperti emas, yakni melalui proses penambangan dari sisi penciptaannya. Di sisi lain, ia serupa dengan mata uang kertas yang tak bernilai intrinsik tapi menjadi aset investasi.

Bedanya, uang kertas memiliki bank sentral yang meregulasi peredaran dan menjaga stabilitas nilainya, sementara aset kripto tidak. Nilai Bitcoin dkk ditentukan sepenuhnya oleh komunitas pengguna. Tidak ada protokol stabilisasi dalam pergerakannya. Itulah mengapa Nouril menyebut aset kripto sebagai alat penyimpan nilai yang tak stabil.

Ketika pengguna Bitcoin dkk menentukan bahwa aset kripto nilainya bakal lebih tinggi, maka harganya pun meningkat. Demikian juga sebaliknya. Jika anda adalah tipe investor yang agresif dan berani mengambil risiko berbekal spekulasi, maka aset seperti Bitcoin ini sangat-sangat cocok.

Namun harap diingat, semua hal bisa dijadikan aset investasi jika orang yang meminatinya menganggap demikian. Contoh kecilnya adalah tanaman Janda Bolong. Ia pernah menjadi aset investasi, harganya naik-turun karena hasrat psikologis para peminatnya. Adakah fungsi stabilisasinya? Tidak. Kini kita melihat fungsi investasinya hilang setelah hype berakhir.

Seperti halnya nilai chip di meja judi Makau, mata uang kripto sangat bernilai bagi sesama penggunanya tapi tak bisa dipakai sebagai alat tukar resmi (meski satu pengguna bisa saja menjual mobilnya ke sesama pengguna lain dengan barter sekian keping chip).

Sekarang, bayangkan chip Makau dipersepsikan menjadi tujuan investasi dan dianggap sebagai mata uang masa depan. Ia mulai diperjual-belikan di pasar sekunder. Apakah kita bisa menjadi kaya dari trading chip itu? Tentu saja sangat bisa, selama persepsi soal "nilai fundamental" itu dijaga dan spekulasi dipupuk untuk menggaet peminat baru.

Namun, jangan berharap ada stabilisasi. Higher risk, higher return.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(ags/ags)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Tesla Cuan Rp 1,5 T dari Bitcoin, tapi Anda Bukan Elon Musk

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular