Jakarta, CNBC Indonesia - Tahun 2020 tinggal menghitung hari. Waktu berlalu begitu cepat dan lebih banyak waktu kita dihabiskan di rumah akibat pandemi Covid-19. Mobilitas sebagai darah bagi perekonomian global yang tersendat telah menyebabkan output mengalami kontraksi terparah sejak The Great Depression 1929.
Namun ada fenomena menarik yang patut dicermati. Meskipun dunia jatuh dan terpuruk ke jurang resesi tahun ini, ternyata tak serta merta menjadi halangan bagi pasar saham untuk mencapai titik tertingginya sepanjang masa (all time high).
Memang tidak semua pasar saham berhasil mencetak rekor sejarah barunya. Beberapa masih berada di zona negatif tahun ini dan diperkirakan akan tetap berada wilayah tersebut hingga akhir tahun.
Namun hal tersebut tidak berlaku bagi S&P 500 yang mencetak rekor barunya di akhir pekan lalu. Ketika indeks saham acuan negara lain masih terjerembab di zona merah atau kalaupun tumbuh hanya minimalis, indeks S&P 500 berhasil membukukan kinerja yang ciamik.
Tak tanggung-tanggung, secara year to date (ytd) berhasil melesat 14,1%. Nilai kapitalisasi pasar S&P 500 mencapai US$ 31,08 triliun atau hampir setara dengan lebih dari 150% output perekonomian Negeri Paman Sam.
Mengacu pada indikator yang dicetuskan oleh investor kawakan Warren Buffett, ketika rasio kapitalisasi pasar terhadap PDB suatu negara berada di atas rata-ratanya secara tren historikal maka bisa dikatakan bahwa nilainya sudah kemahalan alias overvalued.
Sejak 1970-2020, secara rata-rata rasio kapitalisasi pasar saham terhadap PDB AS berada di angka 80%. Saat ini rasionya sudah di atas 100%. Bahkan hampir dua kali lipat dari rata-rata.
Melihat indikator valuasi lain yaitu menggunakan rasio harga terhadap laba (price to earning/PE), secara rata-rata jangka panjang 10 tahun nilai PE S&P 500 adalah 14-15x. Namun sekarang sudah berada di angka 29,1x.
Banyak yang khawatir dengan fenomena reli pasar saham di AS ini. Sebagian menganggap market sedang bubble dan berpotensi akan pecah sehingga menjadi risiko yang patut diwaspadai, sementara yang lain menganggap fenomena ini sebagai hal yang wajar.
Dari sudut pandang adanya bubble, ekonomi AS diramal terkontraksi tahun ini tetapi harga aset-aset ekuitas justru terus menerus mencetak rekor tertingginya. Ketika ekonomi sedang lesu, maka daya beli masyarakat melemah hal ini akan berdampak pada kinerja keuangan korporasi dan setoran dividen yang dibayarkan ke investor.
Ketika jumlah dividen yang disetorkan ke pemegang saham kecil kenapa harus membayar mahal harga sahamnya? Inilah dasar utama logic dibalik pandangan bahwa pasar sedang bubble untuk saat ini.
Bagi mereka yang menganggapnya kenaikan harga saham belakangan ini adalah wajar karena mengikuti growth story dibalik makin maraknya adopsi teknologi digital di kala pandemi. Fenomena ini terjadi hampir di seluruh dunia.
Toh tidak semua saham mengalami kenaikan fantastis. Bisa dibilang saham-saham teknologi lah yang mengalami kenaikan paling pesat. Di antaranya adalah geng FAANG (Facebook, Apple, Amazon, Netflix & Google).
Namun terlepas dari itu semua kenaikan pasar saham terutama di AS tidak bisa dilepaskan dari sentimen positif vaksin Covid-19 hingga paket stimulus fiskal maupun moneter yang bernilai jumbo.
Beberapa negara sudah mulai merestui penggunaan darurat vaksin Covid-19 buatan Pfizer-BioNTech. Mereka adalah Inggris, Kanada, Bahrain, Arab Saudi bahkan AS. Program vaksinasi yang sudah berjalan di Inggris pun memberi optimisme ke pelaku pasar bahwa ekonomi on track di jalur pemulihannya.
Menambah sentimen positif ada kebijakan moneter ultra akomodatif the Fed yang membabat habis suku bunga acuannya (Federal Fund Rates) hingga mendekati nol persen (zero lower bound).
Tak sampai di situ kebijakan moneter ekspansif berupa quantitative easing (QE) yang sering disebut banyak pihak sebagai kebijakan cetak uang pada 2008 silam mulai dilakukan. Bahkan nilainya lebih fantastis.
Jika QE yang dilakukan the Fed pada krisis keuangan global 2008 membuat neraca (balance sheet) bank sentral mengembang sebesar US$ 3 triliun selama 3-4 tahun. Sekarang hanya butuh waktu kurang dari 12 bulan untuk membuat neraca bank sentral menggembung dengan nilai yang sama.
Bayangkan saja yield obligasi pemerintah AS (US Treasury) yang sudah jatuh ke teritori negatif dan besarnya injeksi likuiditas di pasar membuat dana ini harus dilarikan segera ke berbagai aset. Ada yang masuk ke aset minim risiko seperti emas, berisiko seperti saham bahkan sampai aset yang paling spekulatif pun seperti bitcoin.
Melihat pasar saham yang sudah reli sejak bulan September di AS. Tampaknya perlu ada cooling down dalam waktu dekat terlepas dari adanya fenomena tahunan seperti Santa Claus Rally.
Pasar membutuhkan koreksi untuk segera menyehatkan valuasinya yang sudah tergolong kemahalan ini, yang berarti dan paling mungkin terjadi di bulan pertama tahun depan. Tidak ada yang bisa memastikan arah pergerakan pasar bulan depan. Boro-boro hitungan bulan, hitungan detik saja sulit.
Namun tren historis membuat kita bisa memahami pola yang terjadi dalam jangka waktu tertentu. Untuk kasus S&P 500 tren historis sejak 2002-2020 menunjukkan bahwa pasar mancatatkan koreksi di bulan Januari sebanyak 10 kali. Sisanya mengalami apresiasi.
Artinya jika melihat ke belakang probabilitas pasar mengalami koreksi dalam hampir 20 tahun terakhir adalah 52%. Nilai median koreksinya pun tergolong minimalis hanya 0,2% saja jika dibandingkan dengan performa di penghujung tahun.
Sebagai kiblat kapitalisme global, apa yang terjadi di Wall Street akan cenderung ke bursa saham lainnya tak terkecuali di Indonesia. Kesamaan kelas aset (ekuitas/saham) dan korelasi pergerakannya memungkinkan koreksi yang terjadi di bursa New York juga akan berdampak ke pasar modal domestik.
Melihat tren 20 tahun terakhir, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) cenderung mengalami apresiasi dengan nilai median sebesar 2%. Bahkan setelah sentimen window dressing yang mengangkat kinerja pasar di bulan Desember.
Namun bukan berarti IHSG kebal dari serangan koreksi pada jangka waktu tersebut. Tercatat IHSG mengalami koreksi sebanyak enam kali sejak 2001-2020. Kebanyakan koreksi terjadi saat krisis keuangan global tahun 2008 silam.
Kendati lebih sering terapresiasi dan kinerja masa lalu tidak menjamin atau memberikan gambaran kinerja masa depan setidaknya kita bisa melihat bahwa peluang IHSG terkoreksi di Januari itu ada dan nilainya juga mencapai 30% secara historikal.
Lagipula jika melihat tren IHSG yang terus menerus reli sejak September, adanya koreksi merupakan hal yang wajar. Ada beberapa sentimen juga yang patut dicermati oleh pelaku pasa jelang penutupan akhir tahun ini dan sebelum memasuki tahun baru.
Pertama dari AS, Presiden Donald Trump dikabarkan mengancam tidak akan menandatangani RUU stimulus fiskal jilid II yang bernilai US$ 900 miliar. Trump menilai nominal bantuan tersebut terlalu kecil dan mendorong kongres untuk menambahnya.
Sebagai gambaran saja, stimulus fiskal jilid I di AS nilainya mencapai US$ 2,2 triliun. Jika kali ini nilainya hanya US$ 900 miliar saja maka tergolong kecil untuk ukuran ekonomi AS yang mencapai lebih dari US$ 20 triliun.
Ancaman Trump tersebut semakin membuat situasi menjadi kompleks. Pasarnya stimulus yang selama ini ditunggu-tunggu dan telah melalui diskusi alot antara Demokrat dan Republik pada akhirnya harus menunggu waktu lagi untuk disalurkan.
Padahal masyarakat AS sedang benar-benar membutuhkannya di tengah tingginya lonjakan kasus Covid-19 di AS akibat serangan gelombang kedua.
Sentimen kedua yang juga perlu dicermati adalah munculnya varian baru virus Corona di Inggris. Varian ini muncul karena virus Corona bermutas. Varian yang diberi nama B.1.1.7 oleh ilmuwan dari konsorsium genomik Inggris ini dikaitkan dengan lonjakan kasus yang signifikan di Inggris.
Hanya dalam kurun waktu kurang dari 2 minggu kasus harian di Inggris meningkat 50% lebih dan membuat Perdana Menteri Borish Johnson memilih untuk menerapkan lockdown yang lebih ketat.
Varian virus tersebut bahkan kini dikabarkan juga ditemukan di negara lain seperti Belanda, Islandia hingga Australia. Apabila benar varian virus tersebut jauh lebih menular dan mengakibatkan kenaikan kasus yang signifikan hingga memicu maraknya lockdown maka pasar keuangan bisa kembali goyang.
Secara year to date (ytd) IHSG masih mengalami koreksi sebesar 4,9%. Secara valuasi pun sebenarnya pasar saham Indonesia masih bisa dikatakan menarik jika dibandingkan dengan negara-negara lain terutama negara maju seperti AS.
Saat ini rata-rata rasio P/E Indonesia sedang berada di bawah rata-ratanya 10 tahunannya (12,9x vs 15,5x). Hal ini mengindikasikan bahwa sebenarnya secara broad market pasar di Indonesia masih terbilang undervalued.
Namun bukan berarti semua saham yang menjadi konstituen IHSG juga murah lho ya. Ada juga saham-saham yang saat ini sudah ditransaksikan secara premium relatif terhadap valuasinya.
Valuasi yang masih menarik dan murah juga didukung dengan indikator Buffett. Hingga penutupan hari ini nilai kapitalisasi pasar IHSG mencapai Rp 6.858 triliun atau setara dengan US$ 484,6 miliar.
Apabila tahun ini PDB Indonesia mengalami kontraksi sebesar 2,2% (yoy) maka nilai output perekonomian RI untuk tahun 2020 mencapai US$ 1,18 triliun di harga konstan. Dengan asumsi inflasi sebesar 1,6% (yoy) tahun ini maka diperoleh PDB nominal untuk tahun ini US$ 1,2 triliun.
Itu artinya rasio kapitalisasi pasar IHSG terhadap PDB RI pada 2020 sebesar 40,4%. Rasio tersebut masih di bawah rata-rata 10 tahun terakhir di 41,39% dan masih masuk kategori yang terbilang modestly undervalued.
Melihat prospek makroekonomi yang lebih baik dan mulai didistribusikannya vaksin serta adanya kemungkinan inflow dana asing yang besar berpotensi mendorong IHSG mengalami kenaikan untuk tahun 2021.
Menggunakan proyeksi pertumbuhan ekonomi di kisaran 4%-5% untuk tahun depan, adanya dividend yield sebesar 2,5% dan kontribusi kembalinya rasio kapitalisasi pasar IHSG terhadap PDB ke rata-rata 10 tahunnya sebesar 1%, maka baseline skenario untuk expected return dari investasi saham di dalam negeri bisa mencapai 8,5%.
Dengan angka tersebut dan asumsi IHSG akan berada di level 6.000 sampai akhir tahun ini, maka target IHSG untuk tahun depan untuk baseline scenario-nya adalah ke 6.510. Masih lebih tinggi dibanding return 10 tahun terakhir di rata-rata 6%-7%.
Bank investasi global JP Morgan bahkan lebih bullish. Bank asal Wall Street itu bahkan menyebut IHSG bisa ke 6.800 untuk tahun depan.
Beberapa sektor tercatat memiliki sentimen positif untuk tahun 2021 adalah sektor perbankan. Selain adanya aspek perbaikan ekonomi investor dan pelaku pasar juga perlu mencermati maraknya aksi korporasi di sektor ini untuk melakukan perombakan model bisnis menjadi bank digital.
Sektor komoditas baik pertambangan dan pertanian juga mendapat angin segar akibat membaiknya prospek harga komoditas seiring dengan pemulihan ekonomi global. Sektor batu bara dan sektor tambang terutama untuk emiten yang memiliki tambang nikel juga masih terbilang menarik. Begitu juga dengan emiten CPO.
Sektor telekomunikasi juga akan diwarnai dengan sentimen persiapan 5G yang semakin gencar, sementara hadirnya Souvereign Wealth Fund (SWF) RI juga menjadi katalis positif untuk sektor konstruksi mengingat prioritas untuk pembangunan infrastruktur pemerintah belum berubah.
Rendahnya suku bunga acuan juga positif untuk sektor properti dan real estate yang diharapkan bisa mendongkrak volume penjualan rumah maupun aset properti lainnya. Tak luput juga sektor konsumen juga dinilai positif mengingat adanya prospek pertumbuhan konsumsi masyarakat sebagai tulang punggung ekonomi RI.
Namun investor masih perlu memperhatikan setidaknya empat hal yang masih menjadi risiko di tahun 2021. Pertama adalah pandemi Covid-19 yang belum bisa dijinakkan. Kedua program vaksinasi yang berjalan lambat dan baru dimulai pada semester kedua serta adanya potensi efektivitas vaksin yang rendah.
Ketiga adalah kejutan kebijakan fiskal dan moneter yang lebih cepat dari dugaan dan terakhir adalah berlanjutnya fenomena perang dagang antara berbagai negara seperti AS dengan China dan Australia dengan China.
TIM RISET CNBC INDONESIA