Lebih Baik Divaksin Ketimbang Menanggung Penyakitnya

Advertorial, CNBC Indonesia
25 November 2020 00:00
dr. Endah Citraresmi, Sp.A (K), MARS (Yayasan Orang Tua Peduli) memberikan pemaparan mengenai Imunisasi Aktif: mewujudkan kualitas hidup yang lebih baik di Jakarta, Selasa, 24 November 2020.

JAKARTA - Para pakar kesehatan tak henti-hentinya mengkampanyekan vaksinasi atau imunisasi kepada masyarakat luas. Imunisasi masih jadi satu cara paling ampuh dalam membasmi suatu penyakit yang punya dampak buruk kepada manusia, khususnya anak-anak. Sayangnya, sebagian kecil masyarakat masih ada yang enggan untuk divaksin dan masih percaya dengan beragam berita hoaks tentangnya.

Dokter spesialis anak, dr. Endah Citraresmi, Sp.A (K), MARS dari Yayasan Orang Tua Peduli, menekankan bahwa vaksin merupakan bentuk investasi masyarakat, orang tua untuk anaknya misalnya, demi menghindarkan diri dari penyakit.

"Tetapi banyak sekali mitos yang beredar tentang vaksin. Tolong jangan langsung percaya, konfirmasikan ke dokter atau tenaga kesehatan. Jangan mudah percaya pada disinformasi. Vaksin membuat anak dapat tumbuh berkembang dengan baik," kata Endah dalam Dialog Produktif bertema Imunisasi Aktif: Mewujudkan Kualitas Hidup yang Lebih Baik yang digelar di Media Center Komite Penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPCPEN), Selasa (24/11/2020).

Pada prinsipnya dikatakan Endah, vaksinasi akan membuat seseorang memiliki kekebalan tubuh sehingga tidak perlu melalui fase sakit saat diserang virus atau bakteri tertentu. Hal ini tentu berbeda dengan kekebalan alami tubuh yang muncul setelah seseorang diserang penyakit. Pada kondisi tersebut, perlu ada fase sakit dulu sampai akhirnya sembuh dan kebal.

Endah meminta masyarakat untuk tidak mudah percaya terhadap persepsi buruk imunisasi. Soal keamanan misalnya, ia memastikan bahwa semua produk vaksin yang sudah diedarkan pasti aman. Alasannya, proses produksi vaksin melalui tahapan yang panjang, dimulai dari pra uji klinis pada hewan, dilanjutkan dengan tiga tahap uji klinis pada manusia, hingga akhirnya mendapat izin dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).

Bahkan BPOM akan terus memantau apabila ditemukan ada dampak yang serius pada saat implementasi secara luas di masyarakat. Bila hal itu terjadi, maka produk vaksin akan otomatis ditarik. Indonesia juga memiliki Komnas KIPI (Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi) yang akan menampung seluruh pelaporan efek samping vaksinasi. Komnas KIPI pula yang akan melakukan investigasi apakah efek yang dialami seseorang memang berhubungan dengan produk vaksin atau kebetulan saja.

"Lalu ada anggapan, penyakit seperti campak, sudah tidak apa-apa. Tapi penyakit itu bisa berat sehingga harus divaksin. Sakit karena disuntik vaksin lebih ringan dibanding sakit dari infeksi virus atau bakteri yang sebenarnya. Ongkosnya juga akan lebih tinggi kalau sampai sakit, dibanding biaya vaksin di awal," ujar Endah.

Vaksinasi atau imunisasi juga telah terbukti ampuh menekan atau bahkan menghapus penularan infeksi sejumlah penyakit. Menurut data CDC Amerika Serikat per 2019, penderita penyakit campak di Amerika Serikat berhasil susut sampai lebih dari 99 persen. Penyakit lain yang sudah ditemukan vaksinnya pun rata-rata berkurang sampai di atas 90 persen. Bahkan Cacar dan polio hilang sepenuhnya atau berkurang sampai 100 persen saat ini.

"Lalu ada konsep Herd Immunity, vaksin ini juga bisa melindungi masyarakat sekitar kita. Karena ada beberapa kelompok orang yang tidak bisa divaksin karena alasan kesehatan, gangguan kekebalan tubuh misalnya. Sehingga orang ini bergantung pada orang yang sudah diimunisasi," kata Endah.

Masyarakat juga diminta agar tidak mengkhawatirkan adanya kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI). Efek yang terjadi setelah imunisasi memang bisa disebabkan banyak hal, seperti reaksi alergi, salah teknik penyuntikan, hingga kejadian kebetulan. Endah menyebutkan, kejadian ikutan yang paling umum terjadi pasca imunisasi adalah reaksi ringan seperti nyeri dan bengkak di sekitar lokasi penyuntikan.

"Reaksi sistemik, demam lemas juga bisa terjadi. Contoh pada DPT hampir 50 persen ada demam sedikit. Ini reaksi ringan yang bisa terjadi namun tidak perlu dikhawatirkan karena membaik dalam periode singkat dan tidak berbahaya," ujar Endah.

Sebagai gambaran betapa sedikitnya kejadian ikutan yang terjadi, Endah membenarkan data dari Komnas KIPI saat pemberian vaksin MR secara massal. Dari 35 juta dosis yang diberikan, dilaporkan ada 255 kejadian ikutan pasca imunisasi. Dari angka tersebut, terbukti hanya 18 kejadian yang termasuk reaksi simpang atau berhubungan langsung dengan imunisasi. Rinciannya, 9 kasus demam, 6 kasus reaksi suntik, dan 3 kasus 'programmatic error'.

"Jadi sangat sedikit sekali. Yang lainnya kebetulan," kata Endah.

Endah pun terus mendorong para orang tua untuk memastikan hak imunisasi anak-anaknya terpenuhi. Terlebih, daya tahan tubuh bayi dan anak-anak belum sekuat orang dewasa. Hal itu lah yang membuat risiko infeksi virus atau bakteri pada bayi dan anak-anak lebih tinggi.

"Kalau penyakit ringan memang kita tak berikan vaksin karena sembuh sendiri. Tapi penyakit berat yang bisa membuat kecacatan dan kematian, kita buat vaksinnya," katanya.


(adv/adv) Next Article Realisasi Anggaran Pemulihan Ekonomi Nasional Capai 60%

Most Popular