
Benarkah Harga Saham & Obligasi Murah? Ini Penjelasannya
Lidya Julita Sembiring, CNBC Indonesia
23 August 2018 16:12

Jakarta, CNBC Indonesia - Koreksi harga saham dan obligasi di pasar modal Indonesia dinilai sudah membuat nilaikedua aset tersebut relatif murah setelah tertekan dari awal tahun. Ini bisa menjadi momentum bagi investor untuk membeli aset-aset murah karena koreksi harga yang cukup dalam.
Executive Vice President Intermediary Business Schroders Indonesia Liza Lavina mengatakan depresiasi rupiah, yang dipicu defisit neraca berjalan dan neraca pembayaran, mendorong koreksi harga aset-aset di pasar modal Indonesia.
"Sekarang basicly aset kita murah. Baik di saham dan obligasi kit melihatnya sudah murah. (Pelemhan nilai tukar) merupakan Implikasi yg CAD (current account defisit/CAD) yang defisitnya cukup besar," kata Liza.
Menurut Liza, CAD Indonesia yang sudah mencapai level angka 3% telah membuat investor khawatir. Ditambah lagi ada sentimen perang dagang (trade war) yang berdampak terhadap ekonomi seluruh dunia, dimana proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia direvisi dari 3,4% ke 3,2%.
"Tapi kemarin pertumbuhan ekonomi AS naik . Namun kami dan banyak analis memprediksi AS akan mengalami hal yang sam. Kenapa? Amerika akan mengalami inflasi karena harga-harga naik," jelas Liza.
Intinya, gejolak ekonomi dunia dipekirakan masih akan mempengaruhi kinerja pasar modal dunia dan domestik. Apalagi ada kecenderungan juga terjadi perang mata uang (currency war).
Ini tentunya menjadi kesempatan bagi pasar negara berkembang (emerging market), khususnya Indonesia, menjadi tempat investasi pada saat nilai aset sudah murah. Apalagi pada kuartal II-2018 Indonesia masih mampu membukukan pertumbuhan ekonomi5,27%.
Koreksi Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) secara year to date sudah mencapai 6,47%. ke di bawah 6.000, membuat harga sejumlah saham sudah kembali ke level 2 tahun ke belakang.
Demikin pula dengan harga obligasi yang terus terkoreksi dan mendorong yield (imbal hasil) ke level 8%. "Walaupun sebenarnya yield tertinggi 9% pada 2015. Artinya 2 aset di pasar modal atraktif," kata Liza.
Menurut Liza, pelaku pasar mengapresiasi langkah pemerintah mengendalikan impor untuk proyek infraktur. Hal ini diharapkan bisa mengendalikan nilai tukar rupiah terhadap dolar tidak terdepresiasi terlalu dalam.
"Kita cukup apresiasi terutama untuk impor infrastruktur untuk power plant. Lalu pengurangan impor alusista, seperti impor helikopter," jelas Liza.
(hps/hps) Next Article 2021 Tahun Bullish, Ini Dia Instrumen Investasi Pilihan
Executive Vice President Intermediary Business Schroders Indonesia Liza Lavina mengatakan depresiasi rupiah, yang dipicu defisit neraca berjalan dan neraca pembayaran, mendorong koreksi harga aset-aset di pasar modal Indonesia.
"Sekarang basicly aset kita murah. Baik di saham dan obligasi kit melihatnya sudah murah. (Pelemhan nilai tukar) merupakan Implikasi yg CAD (current account defisit/CAD) yang defisitnya cukup besar," kata Liza.
"Tapi kemarin pertumbuhan ekonomi AS naik . Namun kami dan banyak analis memprediksi AS akan mengalami hal yang sam. Kenapa? Amerika akan mengalami inflasi karena harga-harga naik," jelas Liza.
Intinya, gejolak ekonomi dunia dipekirakan masih akan mempengaruhi kinerja pasar modal dunia dan domestik. Apalagi ada kecenderungan juga terjadi perang mata uang (currency war).
Ini tentunya menjadi kesempatan bagi pasar negara berkembang (emerging market), khususnya Indonesia, menjadi tempat investasi pada saat nilai aset sudah murah. Apalagi pada kuartal II-2018 Indonesia masih mampu membukukan pertumbuhan ekonomi5,27%.
Koreksi Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) secara year to date sudah mencapai 6,47%. ke di bawah 6.000, membuat harga sejumlah saham sudah kembali ke level 2 tahun ke belakang.
Demikin pula dengan harga obligasi yang terus terkoreksi dan mendorong yield (imbal hasil) ke level 8%. "Walaupun sebenarnya yield tertinggi 9% pada 2015. Artinya 2 aset di pasar modal atraktif," kata Liza.
Menurut Liza, pelaku pasar mengapresiasi langkah pemerintah mengendalikan impor untuk proyek infraktur. Hal ini diharapkan bisa mengendalikan nilai tukar rupiah terhadap dolar tidak terdepresiasi terlalu dalam.
"Kita cukup apresiasi terutama untuk impor infrastruktur untuk power plant. Lalu pengurangan impor alusista, seperti impor helikopter," jelas Liza.
(hps/hps) Next Article 2021 Tahun Bullish, Ini Dia Instrumen Investasi Pilihan
Most Popular