
Mengubah Kredit Bermasalah Jadi Berkah
gita rossiana & Donald Banjarnahor, CNBC Indonesia
14 January 2018 12:15

Jakarta, CNBC Indonesia- Bagi dunia perbankan, rasio kredit bermasalah alias non performing loan (NPL) merupakan keniscayaan sekaligus momok.
Keniscayaan karena mustahil bank nir-NPL, meskipun banyak strategi manajemen risiko untuk menekan kredit bermasalah serendah mungkin. Momok karena NPL akan memaksa perbankan untuk meningkatkan cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN) atau lebih dikenal sebagai provisi. Ujungnya, laba pasti tergerus, bahkan tidak jarang terjadi kerugian akibat peningkatan CKPN.
NPL yang tinggi juga akan menggerus rasio kecukupan modal (CAR) yang ujungnya akan memaksa pemegang saham untuk melakukan aksi dalam penambahan modal. Bahkan, bila NPL semakin tidak terkendali dengan posisi netto di atas 5%, bank tersebut bisa menjadi pasien regulator dalam kategori Bank Dalam Pengawasan Intensif maupun Khusus.
Bagi bank yang melantai di bursa efek, berita mengenai peningkatan NPL umumnya direspon dengan pelepasan saham oleh pemegang saham publik. Akibatnya nilai saham bisa turun bahkan jatuh. Salah satu bank yang harus merasakan pil pahit NPL adalah PT Bank Bukopin Tbk. Bank yang dikendalikan oleh PT Bosowa Corporindo ini harus mengalami NPL bruto 4,87% pada kuartal III-2017.
NPL naik signfikan dari setahun sebelumya yang masih pada level 3,37%. Laba individual sebelum pajak kuartal III-2017 Bukopin tergerus 25% menjadi Rp782,46 miliar dari setahun sebelumnya Rp1,04 triliun.
Namun, Bank ini sangat serius mengendalikan NPL, terlihat dari target pertumbuhan kredit yang disampaikan dalam Rencana Bisnis Bank 2018 hanya di kisaran 5%. Target itu jauh lebih rendah dari proyeksi Bank Indonesia terhadap industri perbankan sebesar 8-10%.
“Kami targetkan pertumbuhan kredit 5% dan dana pihak ketiga 5-7%. Namun kami targetkan profitabilitas bisa naik 20%. Ini menunjukan Bank Bukopin pada 2018 fokus pada perbaikan kualitas,” ujar Direktur Bukopin Eko Rachmansyah Gindo, seusai Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPS-LB), pekan lalu.
Pada RUPS-LB tersebut Eko disahkan pemegang saham sebagai Direktur Utama Bukopin menggantikan Glen Glenardi, yang telah menjabat sebagai Dirut lebih dari 12 tahun. Eko menjabarkan bahwa kredit bermasalah ibarat harta karun bagi Bukopin. Syaratnya NPL tersebut harus diselesaikan dengan baik. Target pendapatan yang diincar dari penyelesaian kredit bermasalah juga tidak main-main, Rp100 miliar. Nilai itu, menurut Eko, dikisaran 10% dari target laba pada 2018.
“Kita akan tagih, restrukturisasi, penyerahan jaminan kredit secara sukarela. Yah kombinasi dari itu yang akan dilakukan,” ujarnya memaparkan strategi penyelesaian kredit bermasalah. Target pertumbuhan profit 20% juga akan dikejar dengan penyaluran kredit bermargin tinggi, seperti mikro. Namun tentunya Bukopin tetap hati-hati menyalurkan kredit karena target NPL pada 2018 dapat turun ke 3,5%.
Setali tiga uang dengan Bukopin, PT Bank Tabungan Negara Tbk (BTN), yang menjadi market leader di kredit pemilikan rumah (KPR), juga aktif melakukan restrukturasi NPL dengan memberikan relaksasi kepada debitur.
“Denda biasanya kami bebaskan, sementara untuk tunggakan bunga itu tergantung negosiasi. Tetapi kalau pokok utang harus kembali semua,” ujar Direktur BTN Nixon Napitupulu. Hingga akhir September 2017 NPL BTN relatif terjaga pada level 3,07%, turun dari kuartal sebelumnya sebesar 3,2%.
Tentunya peningkatan NPL adalah berita buruk, tetapi bila diselesaikan dengan baik, maka itu dapat menjadi pundi pendapatan pada periode berikutnya.
(gus/gus) Next Article BTN Terbitkan NCD Rp 2 T, Untuk Refinancing?
Keniscayaan karena mustahil bank nir-NPL, meskipun banyak strategi manajemen risiko untuk menekan kredit bermasalah serendah mungkin. Momok karena NPL akan memaksa perbankan untuk meningkatkan cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN) atau lebih dikenal sebagai provisi. Ujungnya, laba pasti tergerus, bahkan tidak jarang terjadi kerugian akibat peningkatan CKPN.
NPL yang tinggi juga akan menggerus rasio kecukupan modal (CAR) yang ujungnya akan memaksa pemegang saham untuk melakukan aksi dalam penambahan modal. Bahkan, bila NPL semakin tidak terkendali dengan posisi netto di atas 5%, bank tersebut bisa menjadi pasien regulator dalam kategori Bank Dalam Pengawasan Intensif maupun Khusus.
NPL naik signfikan dari setahun sebelumya yang masih pada level 3,37%. Laba individual sebelum pajak kuartal III-2017 Bukopin tergerus 25% menjadi Rp782,46 miliar dari setahun sebelumnya Rp1,04 triliun.
Namun, Bank ini sangat serius mengendalikan NPL, terlihat dari target pertumbuhan kredit yang disampaikan dalam Rencana Bisnis Bank 2018 hanya di kisaran 5%. Target itu jauh lebih rendah dari proyeksi Bank Indonesia terhadap industri perbankan sebesar 8-10%.
“Kami targetkan pertumbuhan kredit 5% dan dana pihak ketiga 5-7%. Namun kami targetkan profitabilitas bisa naik 20%. Ini menunjukan Bank Bukopin pada 2018 fokus pada perbaikan kualitas,” ujar Direktur Bukopin Eko Rachmansyah Gindo, seusai Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPS-LB), pekan lalu.
Pada RUPS-LB tersebut Eko disahkan pemegang saham sebagai Direktur Utama Bukopin menggantikan Glen Glenardi, yang telah menjabat sebagai Dirut lebih dari 12 tahun. Eko menjabarkan bahwa kredit bermasalah ibarat harta karun bagi Bukopin. Syaratnya NPL tersebut harus diselesaikan dengan baik. Target pendapatan yang diincar dari penyelesaian kredit bermasalah juga tidak main-main, Rp100 miliar. Nilai itu, menurut Eko, dikisaran 10% dari target laba pada 2018.
“Kita akan tagih, restrukturisasi, penyerahan jaminan kredit secara sukarela. Yah kombinasi dari itu yang akan dilakukan,” ujarnya memaparkan strategi penyelesaian kredit bermasalah. Target pertumbuhan profit 20% juga akan dikejar dengan penyaluran kredit bermargin tinggi, seperti mikro. Namun tentunya Bukopin tetap hati-hati menyalurkan kredit karena target NPL pada 2018 dapat turun ke 3,5%.
Setali tiga uang dengan Bukopin, PT Bank Tabungan Negara Tbk (BTN), yang menjadi market leader di kredit pemilikan rumah (KPR), juga aktif melakukan restrukturasi NPL dengan memberikan relaksasi kepada debitur.
“Denda biasanya kami bebaskan, sementara untuk tunggakan bunga itu tergantung negosiasi. Tetapi kalau pokok utang harus kembali semua,” ujar Direktur BTN Nixon Napitupulu. Hingga akhir September 2017 NPL BTN relatif terjaga pada level 3,07%, turun dari kuartal sebelumnya sebesar 3,2%.
Tentunya peningkatan NPL adalah berita buruk, tetapi bila diselesaikan dengan baik, maka itu dapat menjadi pundi pendapatan pada periode berikutnya.
(gus/gus) Next Article BTN Terbitkan NCD Rp 2 T, Untuk Refinancing?
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular