MARKET DATA

Likuiditas Tebal Tapi Kredit Bank Seret, Pengusaha Wait and See?

Mentari Puspadini,  CNBC Indonesia
10 December 2025 21:20
Ilustrasi kartu kredit (Freepik)
Foto: Ilustrasi kartu kredit (Freepik)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pertumbuhan kredit di Indonesia belum melesat meski kondisi likuiditas perbankan terbilang longgar. Situasi ini terjadi karena pelaku usaha masih bersikap wait and see sebelum menarik kredit baru untuk ekspansi.

Ketua Umum Perbanas Hery Gunardi mengatakan, sepanjang 2025 likuiditas perbankan berada pada posisi yang sangat kuat. Hal ini tercermin dari rasio Loan to Deposit Ratio (LDR) industri yang terus turun.

Ia menjelaskan bahwa regulasi OJK dan Bank Indonesia menetapkan batas LDR di bawah 92%, sementara posisi industri saat ini berada di kisaran 84%.

"Artinya apa? Bank punya uang, bank punya likuiditas untuk ekspansi.Nah itu terjadi kenapa? Karena memang kita lihat belakangan ini pemerintah dan juga Bank Indonesia sangat aktif gitu, kita namakan pro-growth," jelas Hery dalam Konferensi Pers Perbanas di Jakarta, Rabu, (10/12/2025).

Menurut Hery, kondisi likuiditas yang longgar ini juga dipengaruhi kebijakan pro-growth pemerintah dan Bank Indonesia. Salah satu bentuknya adalah relaksasi giro wajib minimum (GWM) yang memperluas kapasitas penyaluran kredit.

Ia menambahkan bahwa pada 2023 instrumen SRBI sempat menarik karena menawarkan imbal hasil tinggi dan bersaing dengan deposito bank. Namun, dengan likuiditas yang kini sangat ample, bank dapat menurunkan cost of fund dan menjadi lebih kompetitif dibandingkan tahun sebelumnya.

Di sisi lain, Hery mencatat bahwa nilai kredit yang belum dicairkan atau undisbursed loan masih relatif tinggi. Hal ini menunjukkan banyak debitur yang sudah memperoleh plafon kredit namun menunda pencairan karena menunggu momentum bisnis yang lebih pasti.

"Artinya apa? Artinya banyak para dibitur yang tadi sudah mendapatkan kredit atau pembiayaan dari bank dengan alasan tertentu mungkin wait and see atau melihat peluang yang ada, masih menunggu untuk menarik dananya dalam hal melakukan ekspansi bisnis," jelas Hery.

Faktor lain yang menahan penyerapan kredit adalah melemahnya daya beli masyarakat menengah ke bawah. Kondisi ini membuat permintaan kredit konsumsi tidak sekuat tahun-tahun sebelumnya

Dalam kesempatan yang sama, Ketua Bidang Riset dan Kajian Ekonomi dan Perbankan Perbanas Aviliani menambahkan, 68% pelaku usaha menilai tiga stimulus positif dan memperkuat sektor riil. Ketiga stimulus tersebut adalah penempatan dana Rp200 triliun hingga penurunan suku bunga dan GWM oleh BI.

Namun, hanya 39% perusahaan yang menyatakan siap berinvestasi dalam waktu dekat. Hal ini menunjukkan sikap wait and see masih dominan di kalangan pelaku usaha.

Selain itu, baru 36% perusahaan yang merasakan dampak positif dari kebijakan yang telah diberikan. Artinya, sekitar 60% pelaku usaha menilai kebijakan tersebut belum berdampak signifikan.

"Berarti masih ada 60% yang mengatakan tidak berdampak. Nah ini menunjukkan bahwa perlu kebijakan-kebijakan pemerintah yang membuat mereka lebih percaya lagi untuk melakukan ekspansi," kata dia.

(ayh/ayh)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Perbanas: Pertumbuhan Kredit Bakal Terdongkrak Belanja Pemerintah


Most Popular