Bitcoin Rp 249 Triliun Milik Penasihat Menteri Dibekukan, Ada Apa?

Mentari Puspadini, CNBC Indonesia
Senin, 20/10/2025 09:10 WIB
Foto: Ilustrasi Penipuan Online. (Dok. Freepik)

Jakarta, CNBC Indonesia — Inggris dan Amerika Serikat menyita Bitcoin senilai US$ 15 miliar atau Rp 248,65 triliun (kurs Rp 16.580) dan membekukan sejumlah aset di London milik Chen Zhi.

Kemdudian properti yang dibekukan termasuk rumah mewah senilai 12 juta poundsterling di Avenue Road, gedung perkantoran senilai 95 juta poundsterling di Fenchurch Street, serta beberapa apartemen di pusat kota London.

"FBI bersama para mitra telah melaksanakan salah satu penindakan penipuan keuangan terbesar dalam sejarah," kata Direktur FBI Kash Patel dalam pernyataan resminya. Ia menegaskan bahwa tindakan ini menjadi langkah penting dalam memerangi kejahatan finansial lintas negara, melansir The Guardian, Senin (20/10/2025).


Hal tersebut seiring dengan sanksi terhadap jaringan multinasional berbasis di Asia Tenggara yang dituduh menjalankan operasi penipuan online berskala besar. Jaringan tersebut diduga menggunakan pekerja yang diperdagangkan untuk menipu orang di berbagai negara di dunia.

Industri penipuan ini berkembang pesat dalam beberapa tahun terakhir, terutama di Kamboja dan Myanmar. Ratusan ribu orang dikabarkan tertipu oleh iklan pekerjaan palsu dan kemudian dipaksa melakukan penipuan online, termasuk skema penipuan asmara, sering kali di bawah ancaman penyiksaan.

Departemen Keuangan AS menyebut tindakan ini sebagai langkah terbesar yang pernah dilakukan di Asia Tenggara. Sanksi tersebut menargetkan 146 orang yang terhubung dengan Prince Group, yang juga dikenai sanksi oleh Inggris.

Mereka yang masuk daftar sanksi termasuk pimpinan Prince Group, Chen Zhi, beserta lebih dari selusin individu yang terkait dengan operasi bisnisnya di Asia Tenggara dan Pasifik. Pemerintah menegaskan bahwa sanksi ini bertujuan memutus rantai keuangan dan logistik dari jaringan penipuan lintas negara tersebut.

Menurut Departemen Kehakiman AS, Chen Zhi, 38 tahun, atau dikenal juga sebagai "Vincent", merupakan pendiri dan ketua Prince Holding Group, konglomerat multinasional berbasis di Kamboja. Situs resmi perusahaan itu menyebut fokus bisnisnya pada pengembangan properti, layanan keuangan, dan jasa konsumen.

Pada 14 Oktober lalu, otoritas AS mengumumkan bahwa Chen, yang hingga kini masih buron, telah didakwa melakukan konspirasi penipuan melalui jaringan komunikasi dan pencucian uang. Ia dituduh mengarahkan operasi kamp penipuan berbasis kerja paksa yang dijalankan Prince Group di seluruh Kamboja.

Kekayaan besar Chen dikabarkan memberinya pengaruh politik yang signifikan, termasuk peran penasihat bagi Perdana Menteri Kamboja. Lahir di Tiongkok pada 1987, Chen diketahui membeli kewarganegaraan Siprus dan Vanuatu, serta juga menjadi warga negara Kamboja.

Departemen Kehakiman AS menuduh orang-orang ditahan secara paksa di kompleks penipuan yang terhubung dengan grup tersebut. Mereka dipaksa menjalankan berbagai skema penipuan yang menimbulkan kerugian miliaran dolar bagi korban di AS dan seluruh dunia.

Jaksa Agung AS menyebut Chen sebagai "otak di balik kekaisaran penipuan siber raksasa" yang beroperasi di bawah payung Prince Group. Ia dimasukkan ke dalam daftar sanksi AS bersama lebih dari selusin individu lain yang diyakini terlibat dalam jaringan bisnisnya.

Lebih dari 100 entitas bisnis yang terdaftar di Kamboja, Singapura, Hong Kong, dan Taiwan juga dikenai sanksi karena diduga memiliki hubungan dengan Chen. Pemerintah AS menyatakan langkah ini akan menekan aktivitas ekonomi jaringan kejahatan tersebut.

Juru bicara Kementerian Dalam Negeri Kamboja mengatakan pihaknya akan bekerja sama dengan negara lain dalam kasus Chen. "Kami tidak melindungi individu yang melanggar hukum, tetapi itu tidak berarti kami menuduh Prince Group atau Chen Zhi melakukan kejahatan seperti yang dituduhkan AS atau Inggris," ujar Touch Sokhak.

Meski sanksi besar-besaran ini dijatuhkan, para ahli menilai industri penipuan masih sangat luas. PBB memperkirakan pada 2023 terdapat sekitar 100.000 orang dipaksa melakukan penipuan online di Kamboja, 120.000 di Myanmar, serta puluhan ribu lainnya di Thailand, Laos, dan Filipina.

Dengan meluasnya industri ini di berbagai negara Asia Tenggara, sejumlah pihak khawatir penangkapan terhadap beberapa pelaku utama justru menciptakan kekosongan kekuasaan. Situasi tersebut dikhawatirkan dimanfaatkan oleh kelompok transnasional lain untuk mengambil alih operasi penipuan yang masih berlanjut.


(mkh/mkh)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Saham Perbankan Pesta Pora, IHSG Menguat Hingga 2 %