Ternyata Ini Alasan Banyak IPO Jadi Exit Strategy Investor Start Up

Mentari Puspadini, CNBC Indonesia
11 September 2025 20:10
Pergerakan indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Selasa (9/9/2025). (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Foto: Pergerakan indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Selasa (9/9/2025). (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Initial Public Offering (IPO) kerap menjadi pilihan strategis bagi startup untuk menghimpun pendanaan baru. Namun, IPO juga sering dimanfaatkan sebagai exit strategy oleh investor mula untuk mencairkan keuntungan sekaligus mendapatkan likuiditas.

Chairman Asosiasi Modal Ventura dan Startup Indonesia (Amvesindo) Eddi Danusaputro menjelaskan bahwa berinvestasi di startup relatif mudah dilakukan oleh siapa saja. Tantangan terbesarnya justru terletak pada bagaimana investor bisa keluar atau melakukan divestasi.

"Semua orang bisa invest, gak semua orang bisa jual. Maka ada unrealized gain, tapi tidak pernah terrealisasi karena tidak ada exitnya. Sedangkan saya butuh exit, sebagai investor saya butuh exit," kata Edi dalam acara di Main Hall BEI, Jakarta, Kamis, (11/9/2025).

Lebih lanjut, Eddi mengungkapkan ada beberapa metode exit yang bisa dilakukan investor. Pertama adalah IPO yang dinilai paling populer dan dikenal luas karena banyak terjadi di pasar global, seperti pada Google atau Meta.

Kedua, investor bisa exit melalui merger dan akuisisi (M&A) ketika perusahaan startup diambil alih oleh entitas yang lebih besar. Dalam kondisi ini, pemegang saham lama akan menjual kepemilikannya kepada perusahaan pengakuisisi.

Ketiga, terdapat opsi secondary transaction, yaitu transaksi jual beli saham antara dua pihak tanpa melibatkan perusahaan startup itu sendiri. Jenis transaksi ini disebut cukup sering terjadi meskipun dana yang berpindah tidak masuk langsung ke kas perusahaan.

Metode keempat adalah melalui likuidasi atau depreciation ketika startup tidak mampu melanjutkan operasionalnya. Meski tidak ideal, cara ini tetap menjadi jalur exit yang harus dipertimbangkan oleh investor.

Eddi menekankan bahwa proses exit tidak hanya dibutuhkan oleh investor, tetapi juga oleh startup itu sendiri. Hal ini terutama berkaitan dengan kepemilikan saham founder, karyawan, maupun penerima program ESOP yang membutuhkan jalur realisasi agar saham tersebut memiliki nilai nyata.

"Kenapa (harus IPO)? Karena kalau enggak ya, saham itu enggak ada nilainya. Sampai dengan ada transaksi IPO atau M&A, baru mereka keluar. Jadi proses exit itu sangat dibutuhkan tidak hanya oleh investor, tapi juga oleh startup-nya," tuturnya.

Tren IPO Start Up

Diketahui, Sejumlah startup di Indonesia sudah melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI) dalam beberapa tahun terakhir.

Bukalapak tercatat sebagai pionir startup yang melakukan IPO pada 6 Agustus 2021. Selanjutnya, GoTo atau gabungan Gojek dan Tokopedia resmi IPO pada 11 April 2022.

Di sisi lain, Blibli menyusul dengan pencatatan saham perdana di BEI pada 8 November 2022. Perusahaan e-commerce ini melantai di bursa dengan kode saham BELI.

Paling baru, Fore Coffee resmi IPO pada 11 April 2025. Saat itu, Fore menjadi salah satu portofolio start up milik perusahaan ventura East Ventures.


(fsd/fsd)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Untung Rugi Beli Saham IPO, Investor Ritel Wajib Tahu!

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular