BI Pastikan Burden Sharing Bukan Cetak Uang Suntik Program Prabowo
Jakarta, CNBC Indonesia - Bank Indonesia memastikan tidak ada pencetakan uang baru dalam skema burden sharing atau berbagi beban antara pihaknya dengan Kementerian Keuangan untuk mendanai program-program prioritas pemerintahan Presiden Prabowo Subianto melalui Asta Cita.
Kepala Departemen Komunikasi Bank Indonesia, Ramdan Denny Prakoso menjelaskan, burden sharing ini dilakukan dengan cara pembagian beban bunga dengan membagi rata biaya bunga atas penerbitan SBN untuk program Pemerintah terkait Perumahan Rakyat dan Koperasi Desa Merah Putih, setelah dikurangi penerimaan atas penempatan dana Pemerintah untuk kedua program tersebut di lembaga keuangan domestik.
"Tidak ada namanya BI mencetak uang baru, karena pembelian akan dilakukan di pasar sekunder. Berarti di pasar sekunder sebenarnya uangnya sudah ada, tinggal pergantian kepemilikan dari SBN tersebut kan," ujar Denny saat ditemui media di Gedung DPR RI, Rabu (10/9/2025).
Denny kembali menegaskan bahwa pembelian SBN yang akan diterbitkan oleh pemerintah akan dilakukan melalui pasar sekunder. Pasalnya, pembelian SBN jangka panjang di pasar primer akan melanggar Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK).
"BI hanya boleh membeli di pasar Primer untuk SPN, surat perbendaharaan negara, yang jangka pendek. Ada pun yang jangka panjang obligasi negara itu hanya boleh dibeli di pasar sekunder," ujarnya.
Sebelumnya, Besaran pembelian SBN yang dilakukan BI sejak awal tahun ini hingga Agustus 2025 untuk membantu pembiayaan program-program Asta Cita mencapai Rp 200 triliun, termasuk pembelian di pasar sekunder dan program debt switching dengan Pemerintah sebesar Rp150 triliun.
Denny pun memastikan, Bank Indonesia akan terus melakukan sinergi dengan Pemerintah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi sejalan dengan program Asta Cita Pemerintah, dengan tetap menjaga stabilitas perekonomian.
Dalam kaitan ini, bauran kebijakan Bank Indonesia akan disinergikan dengan kebijakan fiskal, termasuk melalui pembelian SBN di pasar sekunder dan kebijakan insentif likuiditas makroprudensial (KLM) yang telah mencapai Rp 384 triliun sampai dengan akhir Agustus 2025. Selain itu, kebijakan digitalisasi sistem pembayaran terus diakselerasi guna mendorong pertumbuhan ekonomi.
BI juga melakukan ekspansi likuiditas melalui penurunan posisi instrumen moneter SRBI dari Rp 923 triliun pada awal tahun 2025 menjadi Rp 715 triliun pada akhir Agustus 2025.
"Sejalan dengan arah kebijakan moneter tersebut, Bank Indonesia telah menurunkan BI Rate sebesar 125 bps sejak September 2024, yang merupakan level terendah sejak tahun 2022. Kebijakan stabilisasi nilai tukar Rupiah juga terus diperkuat dengan intervensi di pasar off-shore melalui NDF dan intervensi di pasar domestik melalui pasar spot, DNDF serta pembelian SBN di pasar sekunder," ucapnya.
(mij/mij)