
Emiten Telekomunikasi(TOWR) Buka-Bukaan Soal Kehadiran Starlink

Jakarta, CNBC Indonesia - PT Sarana Menara Nusantara Tbk. (TOWR) berbicara layanan internet berbasis satelit Starlink. Menurut emiten menara telekomunikasi itu, kehadiran Starlink justru memberikan peluang yang positif.
Menurut Direktur TOWR, Indra Gunawan, masih banyak wilayah timur dan barat Indonesia yang masih kekurangan platform, seperti Maluku dan Papua. Meskipun sudah ada konektivitas di sana, ia menyebut itu masih kurang.
Terlebih, banyak industri yang berkembang di area timur, mulai dari pertambangan dan perusahaan lainnya yang membutuhkan konektivitas.
"Adanya Starlink, ini memberikan opportunity buat operator untuk memiliki backhaul selain menggunakan satelit. Kalau dulu, untuk daerah remote maka operator akan menggunakan satelit GEO. Tapi sekarang dengan Starlink dan LEO, maka mereka akan bisa mendapatkan opportunity itu dengan latensi yang lebih kecil dan dengan battery yang lebih bagus," terang Indra dalam public expose live 2025 yang digelar secara virtual, Senin (8/9/2025).
Dengan demikian, diharapkan itu dapat mendorong visi dari pemerintah terkait penetrasi internet yang lebih merata.
Hal ini dapat mempercepat penetrasi internet ke daerah baru. Semakin banyak daerah terbuka, semakin besar pula kebutuhan menara baru.
Dalam jangka panjang, saat daerah tersebut berkembang dan kebutuhan meningkat, Indra mengatakan pembangunan fiber optic akan semakin layak secara bisnis. Lantas, Starlink berpotensi mengurangi digital divide sekaligus membuka pasar baru bagi TOWR.
Pada kesempatan yang sama, Wakil Direktur Utama TOWR, Adam Gifari melalukan emiten Grup Djarum itu sudah melakukan studi mengenai Starlink sendiri. Ia menyebut layanan internet Amerika Serikat (AS) itu penetrasi pasar baik di negara asal atau di negara-negara maju masih kurang dari 1%.
Menurut Adam, bila suatu negara itu memiliki tower atau provider yang lebih terjangkau secara biaya untuk operasional, maka kebutuhan untuk satelit menjadi kecil.
Di Indonesia, harga layanan Starlink sekitar US$40 hingga US$50 per pengguna, per bulan, jauh lebih mahal dibandingkan layanan lokal yang hanya sekitar US$ 2,5-US$3. Karena itu, operator lokal masih memiliki daya saing yang kuat.
"Jadi, ada price gap yang lumayan dan itu menciptakan kondisi yang cukup kuat untuk network operator yang sudah ada beroperasi di Indonesia itu untuk meneruskan," pungkas Adam.
(fsd/fsd)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Tok! Sarana Menara (TOWR) Angkat Kenny Harjo Jadi Komisaris Utama
