
Goldman Sachs Ingatkan Risiko di Balik Euforia Investasi AI

Jakarta, CNBC Indonesia — Goldman Sachs mengimbau para investor untuk lebih berhati-hati dalam menyikapi tren panas perdagangan saham kecerdasan buatan (AI). Bank investasi asal Amerika Serikat itu menilai ekspektasi tinggi bisa bertabrakan dengan realitas di lapangan.
Dalam catatan yang dirilis Kamis malam, para analis Goldman Sachs menyebut bahwa AI memang tetap menjadi tema kuat dalam jangka panjang. Namun, mereka memperingatkan risiko jangka pendek mulai meningkat seiring potensi penurunan belanja modal dari raksasa teknologi.
Melansir cryptorank.io, Senin (8/9/2025), Strategis Goldman Sachs Ryan Hammond mengatakan antusiasme investor terhadap saham AI bisa jadi sudah mendekati puncaknya. Menurutnya, sektor ini kini memasuki fase baru yang lebih menuntut bukti nyata dari pertumbuhan laba.
Ia menjelaskan, siklus investasi AI sejauh ini didorong oleh para "hyperscaler" seperti Amazon, Microsoft, Alphabet, Meta, dan Oracle. Kelima perusahaan tersebut bersama-sama menggelontorkan sekitar US$368 miliar untuk belanja modal dan riset terkait AI sepanjang 2025, jumlah terbesar sepanjang sejarah.
Hammond mengingatkan bahwa fase kedua pembangunan infrastruktur besar-besaran kemungkinan segera bergeser ke fase ketiga. Pada tahap ini, investor tidak hanya melihat belanja, tetapi juga menuntut bukti kontribusi AI terhadap laba jangka pendek.
Menurutnya, pergeseran ini membawa risiko bagi valuasi saham AI yang sudah melonjak tinggi karena ekspektasi. Jika perusahaan gagal menunjukkan keuntungan nyata dalam waktu dekat, harga saham berpotensi tertekan.
Tanda-tanda keraguan investor mulai terlihat di Wall Street. Saham Nvidia anjlok hampir 6% setelah proyeksi keuangannya dinilai kurang meyakinkan, sementara Salesforce dan Figma juga ikut turun karena hasil tidak sebanding dengan valuasi tinggi.
Koreksi tersebut menimbulkan pertanyaan apakah kenaikan tajam saham AI bisa terus berlanjut. Investor kini semakin menuntut bukti pertumbuhan laba ketimbang sekadar narasi besar tentang potensi teknologi.
Goldman Sachs juga menyoroti risiko perlambatan belanja modal yang bisa terjadi pada perusahaan teknologi besar. Jika para hyperscaler memangkas investasi kembali ke level 2022, dampaknya bisa sangat signifikan.
Bank itu memperkirakan skenario ekstrem tersebut berpotensi menghapus sekitar 30% dari proyeksi pertumbuhan penjualan S&P 500 senilai US$1 triliun pada 2026. Selain itu, valuasi saham bisa tertekan hingga 15-20%, memukul keras saham-saham terkait AI maupun indeks ekuitas yang lebih luas.
Meski demikian, Goldman menilai valuasi perusahaan teknologi besar saat ini masih berada di bawah level ekstrem masa lalu. Sebanyak lima saham perusahaan raksasa teknologi AS kini diperdagangkan sekitar 28 kali laba, lebih rendah dibanding 40 kali saat reli 2021 dan 50 kali saat gelembung dot-com tahun 2000.
Menurut Goldman, perbedaan utama kali ini adalah adanya laba riil yang cukup besar berkat masifnya investasi infrastruktur AI. Namun, bank tersebut tetap menegaskan bahwa risiko tetap tinggi jika pertumbuhan belanja mulai melambat.
(mkh/mkh)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Harga Emas Diprediksi Bisa Tembus Rp 2,43 Juta per Gram Akhir Tahun
