Bangkit Usai Tertekan Kala Demo, Rupiah Menguat ke Rp16.410/US$
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah berhasil ditutup menguat terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Senin (1/9/2025), setelah sebelumnya sempat tertekan oleh aksi demonstrasi besar di berbagai wilayah Indonesia.
Mengutip Refinitiv, rupiah ditutup terapresiasi 0,45% di level Rp16.410/US$, menguat dibandingkan penutupan perdagangan Jumat (29/8/2025) yang melemah 0,89% ke Rp16.485/US$. Penguatan ini sekaligus menjadi sinyal positif bagi rupiah setelah tekanan besar pekan lalu.
Sementara itu, indeks dolar AS (DXY) pada pukul 15.00 WIB melemah 0,10% ke posisi 97,66. Pelemahan ini melanjutkan tren negatif dolar yang sudah berlangsung dua hari berturut-turut sejak Kamis (28/8/2025).
Penguatan rupiah hari ini ditopang oleh kombinasi faktor eksternal dan domestik.
Dari dalam negeri, dukungan datang dari intervensi Bank Indonesia (BI) yang terus menjaga stabilitas nilai tukar. Kepala Departemen Pengelolaan Moneter dan Aset Sekuritas BI, Erwin Gunawan Hutapea, menegaskan BI berada di pasar untuk memastikan rupiah bergerak sesuai fundamental.
"Bank Indonesia terus memperkuat langkah-langkah stabilisasi, termasuk intervensi NDF di pasar off-shore dan intervensi di pasar domestik melalui transaksi spot, DNDF, dan SBN di pasar sekunder," ujarnya kepada CNBC Indonesia.
Erwin menambahkan, BI juga membuka akses likuiditas bagi perbankan melalui berbagai instrumen, termasuk repo, FX swap, pembelian SBN di pasar sekunder, serta lending/financing facility.
Langkah ini sekaligus memberi keyakinan tambahan kepada pelaku pasar bahwa rupiah tetap akan terjaga stabil di tengah gejolak politik dalam negeri.
Dari eksternal, dolar AS melemah karena investor memilih bersikap wait and see menanti rilis serangkaian data tenaga kerja Amerika Serikat pekan ini, termasuk laporan utama nonfarm payrolls Agustus yang akan diumumkan Jumat (5/9/2025). Data ini akan menjadi penentu besaran pemangkasan suku bunga The Federal Reserve (The Fed) pada FOMC 16-17 September.
"Pasar akan sangat memperhatikan rilis data tersebut untuk menilai kondisi pasar tenaga kerja. Jika data menunjukkan pelemahan, maka ekspektasi pemangkasan suku bunga akan meningkat, dan ini akan memberi petunjuk apakah pemangkasan hanya 25 basis poin atau bahkan bisa lebih besar 50 basis poin," ujar Carol Kong, currency strategist di Commonwealth Bank of Australia, dikutip dari Reuters.
Menurut CME FedWatch Tool, peluang The Fed memangkas suku bunga 25 basis poin bulan ini sudah mencapai 87,6%.
Namun di luar ekspektasi kebijakan moneter, dolar juga dibebani isu independensi The Fed menyusul upaya Presiden AS Donald Trump memecat Gubernur Lisa Cook, serta ketidakpastian soal keberlanjutan kebijakan tarif setelah pengadilan banding AS menyatakan sebagian besar tarif Trump ilegal.
(evw/evw)