
Bos UOB Ungkap Dampak Perang Tarif Trump ke Ekonomi, Dolar & Investasi

Jakarta, CNBC Indonesia - Pada 1 Agustus 2025 lalu, Presiden Amerika Serikat Donald Trump akhirnya menepati "janji"-nya untuk merampungkan seluruh paket tarif timbal balik yang sempat diumumkan sejak April.
Sebagian besar negara di Asia bisa sedikit lega karena hanya terkena tarif pada kisaran atau di bawah 20 persen. Namun, tanda tanya besar masih menggantung, baik soal
rincian kesepakatan dagang ini maupun apa langkah berikutnya. Ketidakpastian ini, ditambah potensi perlambatan ekonomi global dan AS pada paruh kedua tahun, menjadi alasan mengapa yield curve AS bisa semakin menanjak, yang dampaknya menekan nilai Dolar AS.
"Dampak yang lebih besar bagi Dolar AS justru akan terasa dalam jangka panjang. Penerapan tarif akan mendorong negara-negara untuk memutar arah perdagangan, mengurangi ketergantungan pada pasar AS, dan menurunkan penggunaan dolar dalam transaksi global, yang jelas akan menjadi tekanan negatif bagi nilainya," ujar Heng Koon How, Head of Markets Strategy, UOB, seperti dikutip dari keterangan tertulis yang diterima CNBC Indonesia, Kamis (14/8/2025).
Ketidakpastian soal arah perdagangan global
Meski Menteri Perdagangan AS Howard Lutnick menyatakan tarif yang berlaku pasca 1 Agustus sudah final, banyak pihak memperkirakan negosiasi masih akan berlanjut dalam
beberapa bulan ke depan. Kesepakatan dagang terbesar dunia, antara AS dan Tiongkok, belum juga tercapai.
Setelah putaran ketiga perundingan, kedua pihak sepakat memperpanjang pembicaraan 90 hari lagi. Isu yang dibahas pun sensitif, mulai dari akses teknologi AI dan
semikonduktor untuk Tiongkok, hingga ekspor sumber daya alam langka bumi dan mineral ke AS. Hasil negosiasi ini akan berpengaruh besar pada perekonomian Tiongkok
dan prospek ekonomi Asia secara keseluruhan.
Jika menggabungkan tarif yang diberlakukan sejak masa pemerintahan Trump pertama hingga pemerintahan Biden, menurut perhitungan Peterson Institute for International
Economics (PIIE), rata-rata tarif AS atas impor dari Tiongkok kini mencapai 54,9 persen, sementara rata-rata tarif Tiongkok atas impor dari AS sebesar 32,6 persen. Angka
setinggi ini jelas bukan kabar baik bagi pertumbuhan ekonomi.
Sementara itu, kesepakatan dagang dengan negara besar lain seperti India, Kanada, dan Brasil tersendat karena isu geopolitik dan kebijakan luar negeri yang tidak terkait
langsung dengan perdagangan.
Beberapa perjanjian yang sudah diteken pun disertai komitmen investasi jumbo ke AS, misalnya US$350 miliar dari Korea Selatan, US$550 miliar dari Jepang, dan US$600
miliar dari Uni Eropa. Namun, banyak pihak di negara-negara tersebut meragukan dan menolak kesepakatan ini. Pertanyaannya, dari mana dana sebesar itu akan didapat, dan
bagaimana implementasinya? Bukan tak mungkin komitmen ini akhirnya dikurangi atau dibatalkan, yang akan mengguncang kelanjutan perjanjian tersebut.
"Selain itu, masih banyak pertanyaan soal cara penerapan tarif untuk kategori barang tertentu, seperti "tarif Sektor 232" untuk industri otomotif, semikonduktor, dan farmasi,
serta "tarif transshipment" untuk barang yang dianggap dialihkan melalui negara ketiga demi menghindari bea masuk," ungkap Heng Koon How.
Kekhawatiran perlambatan ekonomi di paruh kedua tahun ini
Di tengah kompleksitas kebijakan tarif, kondisi ekonomi AS dan global kini berada di persimpangan. Menariknya, paruh pertama tahun berjalan cukup baik bagi banyak
negara, termasuk di Asia.
Dorongan ekspor membuat Singapura mencatat pertumbuhan PDB 4,2 persen pada semester pertama, di atas tren. Taiwan bahkan membukukan lonjakan PDB hampir 8
persen pada kuartal kedua.
Berkat ketahanan ekonomi Tiongkok, IMF merevisi proyeksi pertumbuhan PDB negara emerging market 2025 menjadi 4,1 persen dari sebelumnya 3,7 persen. Namun, data PDB adalah indikator yang sifatnya mundur. Banyak otoritas memperingatkan bahwa ke depan hal ini bisa "berbalik arah", seiring tarif yang lebih tinggi mulai menggigit. Efek penumpukan ekspor sebelum tarif berlaku kemungkinan besar sudah berakhir, dan perekonomian Asia, termasuk Tiongkok, berpotensi
menghadapi perlambatan manufaktur.
Buktinya, indeks PMI manufaktur resmi Tiongkok justru turun ke 49,3 pada Juli, berlawanan dengan ekspektasi yang mengarah ke 50, menandakan perlambatan sudah mulai terasa. Ekonomi AS juga tumbuh 3 persen year-on-year pada kuartal kedua, lebih baik dari perkiraan. Namun, kini perdebatan sengit muncul: apakah efek negatif dari tarif yang makin tinggi akan benar-benar mulai membebani ekonomi AS pada paruh kedua tahun ini?
Ketua The Fed Jerome Powell mengakui bahwa sejauh ini pelaku impor di AS masih bisa menahan beban tarif. Tapi dengan tarif baru yang berlaku per 1 Agustus, beban ini akan semakin sulit dipikul, memicu kenaikan harga konsumen, turunnya permintaan, dan hambatan pertumbuhan ekonomi.
Pemangkasan suku bunga dan dedolarisasi bisa tekan Dolar AS Lebih dalam Kami memperkirakan The Fed akan kembali memangkas suku bunga pada pertemuan FOMC September, setelah laporan tenaga kerja non-pertanian (NFP) Juli mengecewakan. Dalam tiga bulan terakhir, rata-rata pertambahan lapangan kerja hanya
35.000, nyaris stagnan, menandakan pasar tenaga kerja mulai melemah.
Pemangkasan suku bunga ini akan menekan imbal hasil jangka pendek, sementara yield obligasi AS jangka panjang kemungkinan tetap tinggi karena kekhawatiran soal beban
utang AS yang membengkak. Kondisi ini membuat yield curve semakin menanjak dan memberi tekanan tambahan pada Dolar AS.
Lebih dari itu, Dolar AS menghadapi tekanan struktural jangka panjang. Banyak negara menyadari tarif tinggi dari AS akan bertahan lama. Untuk mengurangi risiko, mereka
mulai memindahkan rantai pasok, memperluas perdagangan dengan negara lain, dan memperkuat perdagangan intra-regional.
Perubahan struktural ini dikatakan bisa mempercepat proses dedolarisasi dan mengurangi minat menempatkan cadangan perdagangan dalam bentuk obligasi AS, keduanya jelas buruk bagi nilai dolar dalam jangka panjang. Beberapa mata uang Asia sudah menguat terhadap Dolar AS dalam beberapa bulan terakhir. Dolar Singapura, misalnya, menguat hingga di bawah 1,3 per Dolar AS dan kemungkinan bertahan di kisaran ini.
MAS (Monetary Authority of Singapore) diperkirakan menunda pelonggaran kebijakan moneter hingga Oktober atau Januari mendatang, menunggu bukti bahwa efek penumpukan ekspor sebelum tarif benar-benar mereda. Indeks Dolar AS (DXY) kini sudah jatuh di bawah level 100. Kami memperkirakan akan turun menuju 97 di akhir tahun ini, dan 95 pada pertengahan tahun depan.
Tak perlu diragukan, permintaan aset safe haven tetap kuat. Kami tetap optimistis terhadap emas, yang diperkirakan akan naik hingga US$3.700 per ons pada pertengahan tahun depan. Presiden Trump mungkin akan dikenang karena slogan Make America Great Again. "Namun, untuk membuat Dolar AS kembali berjaya, itu sepertinya bukan cerita yang akan terjadi dalam waktu dekat," tutup Heng Koon How.
(ayh/ayh)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Sri Mulyani Blak-blakan Risiko Tarif Trump Ubah Perekonomian Global
