Sinyal Kuat Investor Asing Bakal Borong Saham RI

Mentari Puspadini, CNBC Indonesia
12 August 2025 14:25
Layar menampilkan pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di gedung Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Senin (23/6/2025). (CNBC Indonesia/ Faisal Rahman)
Foto: Layar menampilkan pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di gedung Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Senin (23/6/2025). (CNBC Indonesia/ Faisal Rahman)

Jakarta, CNBC Indonesia - Bursa saham Tanah Air mendapat sinyal positif dari investor asing yang diperkirakan akan memborong saham negara pasar berkembang (emerging market), termasuk pasar saham Indonesia dalam waktu dekat. Optimisme ini sejalan dengan tren investor asing yang mulai kembali mencatatkan aksi beli bersih (net buy) di pasar modal domestik sejak awal bulan ini.

Survei bulanan Bank of America (BofA) yang dilansir dari The Financial Times menunjukkan sebanyak 37% manajer investasi global kini memiliki porsi lebih besar di saham pasar negara berkembang, level tertinggi sejak Februari 2023. Peningkatan ini didorong oleh pandangan positif terhadap prospek ekonomi Tiongkok dan pelemahan dolar Amerika Serikat (AS).

Elyas Galou, investment strategist BofA, menyebut kombinasi optimisme atas ekonomi Tiongkok dan sentimen bearish terhadap dolar AS menjadi katalis kuat bagi pasar negara berkembang. Data pertumbuhan ekonomi Tiongkok terbaru dinilai mampu meredam dampak perang dagang yang dilancarkan Presiden AS Donald Trump.

Pelemahan dolar AS memberikan keuntungan bagi saham dan obligasi negara berkembang dengan menurunkan biaya pinjaman, sekaligus memberi ruang bagi bank sentral untuk memangkas suku bunga. Dolar AS tercatat telah melemah hampir 10% terhadap sekeranjang mata uang utama sejak awal tahun ini, dan manajer investasi memperkirakan pelemahan ini akan berlanjut.

Kinerja saham negara berkembang tahun ini juga melampaui pasar negara maju, dengan indeks MSCI mencatatkan return lebih dari 16% dalam dolar AS. Angka ini mengungguli indeks MSCI negara maju yang naik sekitar 11% dan S&P 500 Wall Street yang menguat 8,6%.

Meski reli sudah cukup signifikan, investor meyakini masih ada ruang kenaikan bagi saham negara berkembang karena valuasinya relatif murah setelah periode panjang underperformance. JPMorgan bahkan menaikkan rekomendasi saham emerging market menjadi "overweight" karena dinilai sangat menarik secara valuasi.

Sebanyak 49% responden survei BofA menilai saham negara berkembang sedang undervalued, tertinggi dalam lebih dari setahun terakhir. Sementara itu, 91% manajer investasi menganggap saham AS terlalu mahal pasca reli cepat sejak April dan serangkaian rekor tertinggi di musim panas ini.

Di tengah kekhawatiran valuasi tinggi Wall Street, alokasi investor ke saham AS justru meningkat, meski masih tercatat net 16% underweight. Dukungan datang dari laporan kinerja keuangan emiten AS yang melampaui ekspektasi pasar, meski risiko volatilitas tetap mengintai.

Alokasi ke sektor kesehatan justru merosot tajam setelah Trump mengenakan tarif 39% pada impor dari Swiss yang merupakan eksportir utama farmasi. Porsi investor yang overweight di sektor ini jatuh ke level terendah sejak Januari 2018.


(fsd/fsd)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Ada Saham yang Terciduk Diborong Asing

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular