Rupiah Masih Tak Bertenaga, Dolar AS Naik ke Rp16.485
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah ditutup melemah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada penutupan perdagangan Jumat (1/8/2025).
Melansir dari Refinitiv, nilai tukar rupiah turun sebesar 0,21% di level Rp16.485/US$ sekaligus mencatatkan posisi terlemah rupiah sejak Mei 2025.
Secara Intraday rupiah sempat menembus level Rp16.505/US$, hingga akhirnya bisa sedikit menguat hingga penutupan.
Sementara indeks dolar AS (DXY), per pukul 15.00 WIB terpantau masih mengalami penguatan sebesar 0,08% di level 100,04.
Pelemahan nilai tukar rupiah pada perdagangan hari ini seiring dengan rilis sejumlah data ekonomi Indonesia.
Salah satunya adalah data aktivitas sektor manufaktur Indonesia yang kembali menunjukkan kontraksi. Berdasarkan laporan S&P Global yang dirilis Jumat (1/8/2025), Purchasing Managers' Index (PMI) manufaktur Indonesia tercatat sebesar 49,2 pada Juli 2025. Angka ini berada di bawah ambang batas 50, yang menjadi penanda fase kontraksi dalam aktivitas industri.
Tekanan terhadap rupiah juga datang dari data inflasi yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS). Pada Juli 2025, inflasi tercatat sebesar 0,30% secara bulanan (mtm) dan 2,37% secara tahunan (yoy). Inflasi terutama didorong oleh kelompok makanan, minuman, dan tembakau yang mencatat kenaikan 0,74% dengan andil 0,22%. Komoditas utama penyumbang inflasi adalah beras, dengan andil sebesar 0,06%.
Sementara itu, neraca perdagangan Indonesia masih menunjukkan kinerja yang solid. BPS mencatat surplus neraca perdagangan sebesar US$4,1 miliar pada Juni 2025. Ini menjadi surplus bulanan ke-62 secara berturut-turut sejak Mei 2020.
"Pada Juni 2025, neraca perdagangan surplus US$4,1 miliar, melanjutkan tren surplus selama 62 bulan berturut-turut sejak Mei 2020," ungkap Deputi Statistik Bidang Distribusi dan Jasa BPS, Pudji Ismartini, dalam konferensi pers hari ini.
Dari faktor eksternal, penguatan indeks dolar AS yang terus berlanjut dan tercatat telah mengalami penguatan selama enam hari beruturut-turut, yang mencerminkan tingginya permintaan terhadap dolar AS, yang pada akhirnya dapat menekan nilai tukar negara berkembang termasuk rupiah.
(evw/evw)