Pertumbuhan Laba BCA Makin Seret, Sinyal Bahaya Bagi Investor

Tasya Natalia, CNBC Indonesia
01 August 2025 13:30
Gedung Bank BCA
Foto: Muhammad Luthfi Rahman

Jakarta, CNBC Indonesia - Laba bank swasta terbesar di RI, PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) hanya tumbuh satu digit, terendah dalam dua tahun. Ini menjadi sinyal nyata bahwa sektor perbankan, tulang punggung ekonomi nasional mulai menunjukkan perlambatan.

Laba Bank BCA Hanya Tumbuh Satu Digit di Semester I/2025

Sepanjang paruh pertama tahun ini, BBCA mencatat laba bersih senilai Rp29 triliun, meningkat 8% secara tahunan (yoy). Sekilas, pertumbuhan positif memang bagus, tetapi kalau dilihat secara historis dalam basis kuartalan pertumbuhan ini cenderung melambat.

Sudah empat kuartal beruntun, pertumbuhan laba BBCA terus melambat. Pada kuartal II/2025, laba BBCA yang diatribusikan ke pemilik entitas induk hanya tumbuh 6,2% QoQ.

Kalau ditarik lebih panjang lagi, ternyata pertumbuhan laba BBCA terkini sudah mendekati level terendah pada kuartal akhir 2023 yang hanya tumbuh 3,7% QoQ.

Harga Saham BCA Jeblok

Karena kinerja laba yang melambat, pelaku pasar pun merespon terhadap harga saham BBCA yang sejauh ini masih laggard.

Sampai perdagangan hari ini, Jumat (1/8/2025) pukul 11.00 WIB, saham BBCA bertengger di Rp8.400 per lembar. Dari posisi ini, jika ditarik sejak awal tahun masih jeblok 13,44%, sementara dari posisi tertinggi tahun ini yang sempat dicapai pada 17 Januari 2025 di posisi Rp9.900 per lembar, saham bank swasta ini sudah anjlok lebih dari 15%.

Selama 24 tahun atau tepatnya sejak tahun 2000, dalam basis tahunan saham BBCA hanya sekali saja mencatat merah yaitu pada krisis 2008. Itupun hanya 10,96%.

Kali ini, baru tujuh bulan terlewat pada 2025 saham BBCA sudah jeblok lebih dari 13%. Bisa dibilang Ini menjadi tahun yang sulit bagi BBCA.

Sektor Perbankan : Kepala Naga Ekonomi RI

Tak hanya BBCA sebenarnya yang mengalami penurunan harga saham. Sebut saja ada PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) dari awal tahun sudah turun 20%, kemudian PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) dan PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) masing-masing koreksi 6,90% dan 7,60% secara year-to-date (YTD).

Padahal, empat bank besar ini kalau dihitung kontribusi terhadap IHSG sebenarnya lebih dari 30%. Biasanya, saham-saham itu juga bertahan di top 10 market cap, tapi baru-baru ini saham BBNI terlempat dari posisi itu, dikalahkan saham-saham konglomerasi yang bergerak liar.

Penurunan kinerja laba sampai harga saham perbankan big caps ini patut dicermati oleh pelaku pasar, industri, sampai pemerintah. Kenapa? karena ini merupakan masalah fundamental yang bisa berpengaruh terhadap ekonomi.

Bukan cuma kontribusinya ke iHSG, dalam kondisi riil, bank adalah kepala naga ekonomi nasional. Fungsi bank sebagai intermediasi antara kredit dan simpanan memberikan akselerasi terhadap permodalan, investasi, dan pertumbuhan sektor riil.

Melalui penyaluran kredit, bank mendorong kegiatan produksi, menciptakan lapangan kerja, serta menjaga daya beli masyarakat.

Di saat yang sama, bank juga berperan dalam stabilisasi sistem keuangan, mendukung inklusi keuangan, dan memperkuat ketahanan ekonomi nasional di tengah dinamika global yang terus berubah.

Bukan cuma membahas soal Bank BCA saja, bank BUMN juga dicermati pelaku pasar terkait arah kebijakan di era Prabowo, terutama setelah berada di bawah naungan Danantara.

Salah satu proyek yang disorot adalah rencana pelibatan bank-bank dalam Koperasi Merah Putih, yang digadang-gadang mampu menyalurkan pinjaman hingga Rp3 miliar.

Namun, jika proyek ini benar-benar dijalankan, maka dibutuhkan prinsip kehati-hatian yang jauh lebih ketat. Pasalnya, segmen koperasi, yang secara umum menyasar masyarakat berpendapatan menengah ke bawah, memiliki profil risiko yang tak kalah tinggi dibanding penyaluran kredit ke sektor UMKM, yang selama ini sudah dikenal rawan kredit macet.

Tanpa sistem mitigasi risiko yang matang dan pengawasan berlapis, skema pembiayaan semacam ini justru bisa menambah beban perbankan dan menciptakan risiko sistemik baru di sektor keuangan.

CNBC INDONESIA RESEARCH

Sanggahan : Artikel ini adalah produk jurnalistik berupa pandangan CNBC Indonesia Research. Analisis ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli, menahan, atau menjual produk atau sektor investor terkait. Keputusan sepenuhnya ada pada diri pembaca, sehingga kami tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan tersebut.

 

(tsn/tsn)
Tags

Related Articles

Most Popular
Recommendation