Krisis Properti China Makan Korban Baru, 800.000 Aset Sitaan Dilelang
Jakarta, CNBC Indonesia - Penyitaan dan pelelangan 87 apartemen di Distrik Changsha bulan lalu menyoroti banyak masalah di sektor properti China. Apartemen-apartemen tersebut dimiliki oleh satu orang, yang sebenarnya melanggar aturan yang membatasi jumlah properti yang bisa dibeli warga China.
Melansir The Economist, kemampuan satu orang untuk memiliki begitu banyak properti menunjukkan adanya praktik di belakang layar yang sering terjadi. Aktivitas spekulatif seperti ini sebelumnya turut menyebabkan harga properti melambung dan membuat kota-kota besar di China menjadi sangat tidak terjangkau.
Situasi ini, yang sedang diselidiki, juga menunjukkan bahwa orang kaya di China sering kali tidak memiliki pilihan investasi selain apartemen. Namun, bahkan investasi ini kini terlihat buruk karena sebagian besar rumah yang dilelang di Changsha tidak laku terjual.
Pemimpin China dihadapkan pada masalah properti yang tampaknya tak berkesudahan. Namun, penyitaan rumah-rumah tersebut jarang mendapat perhatian dalam beberapa tahun terakhir, meskipun penyitaan menjadi indikator penting geografi dan keparahan krisis properti.
Di China, penyitaan properti meningkat dengan cepat. Pada 2023, diperkirakan hampir 800.000 properti disita oleh pengadilan, meningkat lebih dari 50% dibandingkan 2020, ketika aturan baru diterapkan untuk mendinginkan pasar properti.
Pemerintah China tidak mempublikasikan data resmi, tetapi ada perkiraan peningkatan penyitaan sebesar 12% pada paruh pertama 2024. Kota-kota besar seperti Fuzhou mencatat kenaikan penyitaan lebih dari 40%, dengan Fuzhou sendiri mengalami kenaikan sebesar 63%.
Meski semakin banyak properti disita, semakin sedikit yang berhasil terjual. Laporan menyebutkan hanya 15% rumah yang disita dan dilelang berhasil menemukan pembeli tahun lalu, meskipun diberikan diskon rata-rata sebesar 33%.
Jika setiap penyitaan menyebabkan keluarga kehilangan rumah, krisis properti di China akan memicu ketidakstabilan sosial yang besar. Namun, gelombang penyitaan di China berbeda, dengan jumlah penyitaan rumah tangga yang tetap minim.
Banyak bank memberikan perpanjangan pembayaran hipotek (KPR) atau menurunkan suku bunga bagi pembeli yang kesulitan. Pejabat kota khawatir penyitaan bisa menyebabkan tunawisma, sehingga pengadilan sering menunda kasus penyitaan untuk memberi waktu bagi pembeli.
Rumah-rumah yang disita sebagian besar dimiliki oleh perusahaan, bukan rumah tangga. Perusahaan di China sering berinvestasi dalam properti komersial dan residensial, serta kerap menggadaikan properti mereka untuk pinjaman bank.
Peningkatan penyitaan menjadi bukti bahwa perusahaan-perusahaan di China mengalami "resesi neraca (balance-sheet)," di mana utang yang tinggi mengakibatkan pengeluaran mereka lebih difokuskan untuk membayar utang daripada investasi. Hal ini menyebabkan penurunan pemberian pinjaman bank bersih untuk pertama kalinya sejak 2005.
Meskipun pejabat China berhasil menghindari gelombang pengusiran rumah tangga seperti yang terjadi di Amerika pada 2007, mereka harus waspada terhadap tekanan yang meningkat di kalangan perusahaan.
(fsd/fsd)