Cerita Penyelamatan Garuda Hingga Tak Jadi Disuntik Mati

Firda Dwi Muliawati, CNBC Indonesia
Selasa, 08/10/2024 21:30 WIB
Foto: REUTERS/WILLY KURNIAWAN

Jakarta, CNBC Indonesia - PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk (GIAA) mengungkapkan berbagai upaya yang dilakukan oleh perusahaan hingga bisa 'bangkit' dari keterpurukan, bahkan terhindar dari opsi 'suntik mati' khususnya saat pandemi Covid-19 melanda pada tahun 2020 lalu.

Direktur Human Capital dan Corporate Service GIAA Enny Kristiani membeberkan bahwa pihaknya harus melakukan restrukturisasi perusahaan yang diklaim sebagai restrukturisasi terkompleks yang pernah dilakukan dalam sejarah restrukturisasi korporasi di Indonesia.


"Ada dua opsi, (Garuda Indonesia) mau disuntik mati sekalian atau mau ditolong," kata Enny pada acara Dies Natalis MM FEB Universitas Indonesia, Salemba, Jakarta, Selasa (8/10/2024).

Opsi tersebut ditawarkan bukan tanpa alasan, Enny mengatakan saat Pandemi Covid-19 melanda, pihaknya dihadapkan dengan jumlah kerugian yang bertubi-tubi, utang perusahaan yang membengkak, hingga nilai ekuitas negatif.

Lantas, bagaimana perusahaan bisa keluar dari ancaman 'suntik mati'?

Enny mengungkapkan bahwa pihaknya harus melakukan dua jenis restrukturisasi besar-besaran. Pertama, pihaknya melakukan restrukturisasi sektor operasional perusahaan.

Hal itu dilakukan dengan memperbaiki struktur pendanaan perusahaan, mengevaluasi berbagai unit pesawat dan mengeliminasi unit-unit pesawat yang tidak dibutuhkan lagi.

"Juga, kita mengembalikan pesawat-pesawat yang sudah tidak kita perlukan, menegosiasikan juga harga yang tadi jauh di atas pasar," ungkap Enny.

Lebih lanjut, Enny membeberkan bahwa pihaknya juga harus mengurangi pengeluaran biaya perusahaan dengan memotong upah karyawan yang bekerja untuk Garuda Indonesia.

"Bagi pegawai, kita juga melakukan pemotongan gaji seperti bisnis-bisnis lainnya pada waktu itu. Dan kita juga memastikan bahwa restrukturisasi yang akan dilakukan ini tidak hanya bertahan sebentar dan kemudian tidak lama kemudian kita Garuda harus melakukan restrukturisasi kembali," jelasnya.

Kedua, lanjut Enny, pihaknya juga melakukan restrukturisasi bidang keuangan perusahaan dengan tujuan perbaikan neraca keuangan GIAA. Hal itu dilakukan dengan mengurangi jumlah utang yang ditanggung oleh perusahaan dan mengurangi tunggakan dari para kreditur.

"Kemudian dari restrukturisasi di bidang keuangan adalah dengan tujuan memperbaiki neraca, jadi bagaimana mengurangi utang perusahaan dan juga mengurangi tunggakan dari para kreditur ini," imbuhnya.

Pihaknya juga klaim terbantu dengan Penyertaan Modal Negara (PMN) yang diberikan oleh pemerintah pada pihaknya mencapai Rp 1 triliun.

Enny mengatakan, restrukturisasi yang dilakukan oleh perusahaan pada saat itu dinilai 'sadis'. Dia mengungkapkan jika GIAA disuntik mati maka akan berdampak pada banyak kreditur dan berimbas pula pada berbagai institusi pemerintah.

Di sisi lain, Enny mengatakan "Kalau dilakukan penyelamatan itu akan dilakukan haircut sebesar 80% jadi recovery rate nya hanya 20%. sehingga sebetulnya sangat, mungkin bisa dibilang sadis restrukturisasi Garuda ini," tambahnya.

"Kemudian dan juga kalau Garuda akan dimatikan, itu akan berdampak pada potensi PDB negara yang akan berkurang," katanya.

GIAA Mati Suri

Enny menjelaskan, dirinya menyebut perusahaan seperti 'mati suri' lantaran pandemi Covid-19 berlangsung bukan hanya 3 bulan seperti perkiraan pihaknya. Namun kerugian perusahaan imbas pandemi tersebut semakin berlarut hingga berbulan-bulan lamanya.

Lebih lanjut, Enny mengatakan pada saat itu, utang perusahaan kian membengkak bahkan mencapai US$ 10,1 miliar atau setara Rp 158,1 triliun (asumsi kurs Rp 15.655 per US$) diikuti dengan nilai ekuitas negatif US$ 5,3 miliar atau negatif Rp 82,9 triliun.

"(Sektor) penerbangan diberi limitasi PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) dan (penerbangan ke) luar negeri ditutup batas negara, sehingga turun 90%, produksi kami juga alat produksi itu turun 70%," imbuhnya.

Apalagi, sambung Enny, pihaknya harus melakukan restrukturisasi yang diklaim paling kompleks sepanjang sejarah korporasi di Indonesia.

Enny menyebutkan, perusahaan juga memiliki kreditur yang banyak bahkan mencapai 800 kreditur.

"Jadi dua direktur utama Garuda sebelumnya itu mempunyai pengalaman mendapatkan persoalan hukum baik terkait dengan problem etika maupun problem penyalahgunaan kewenangan yang berdampak pada kerugian aset negara dan ini menjadi hal yang sangat serius kalau di BUMN seperti Garuda Indonesia ini," bebernya.

Belum selesai di situ, Enny mengungkapkan pihaknya juga dihadapkan dengan pengoperasian jumlah pesawat yang tidak bisa dibilang sedikit. Hal itu membuat biaya perawatan (maintenance) pesawat yang dioperasikan oleh perusahaan semakin jebol.

"Jika Bapak-bapak lihat di grafik ini tidak pernah ada revenue Garuda yang bisa menutupi biayanya. Jadi semakin deep semakin banyak kerugian yang harus dialami oleh Garuda," tambah Enny.


(fsd/fsd)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Investasi Yang Bisa Dilirik Saat Perang & Suku Bunga Ditahan