
Bursa Saham Dunia Jepang Hingga AS Ambruk Berjamaah, Ini Penyebabnya

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar saham global terpantau berjatuhan pada hari ini, di mana hal ini terjadi karena memburuknya sentimen pasar, terutama dari Amerika Serikat (AS).
Sejatinya pasar saham global mulai memburuk sejak Jumat (2/8/2024) pekan lalu, di mana bursa saham AS, Wall Street ditutup berjatuhan pada penutupan perdagangan Jumat pekan lalu. Alhasil, ambruknya Wall Street pun mengekor ke bursa Asia-Pasifik pada hari ini.
Pada Jumat pekan lalu, indeks Nasdaq Composite menjadi yang paling parah koreksinya yakni ambruk 2,43% di posisi 16.776,16. Ini memperpanjang pelemahan Nasdaq yang sudah terjadi sejak akhir Juli lalu karena kekecewaan pelaku pasar di AS akan kinerja keuangan emiten teknologi AS pada kuartal II-2024.
Kekecewaan pasar pun berlanjut pada akhir pekan lalu setelah dirilisnya data tenaga kerja yang mengalami perlambatan cukup tajam.
Data pasar tenaga kerja mengalami perlambatan tajam. Dimulai dari klaim pengangguran naik signifikan ke 249.000, melampaui ekspektasi yang proyeksi hanya naik 1000 ke 236.000 klaim.
Sehari kemudian, kondisi pasar tenaga kerja yang melambat semakin dikonfirmasi dengan data pekerjaan tercatat di luar pertanian (non-farm payrolls/NFP) yang hanya bertambah 114.000, jauh dari estimasi pasar yang proyeksi adanya penambahan tenaga kerja 179.000 ke 175.000 pekerjaan. Tingkat pengangguran AS pada Juli 2024 juga melonjak ke 4,3% dari sebelumnya 4,1% pada Juni 2024.
Kondisi perlambatan tenaga kerja terjadi di tengah data manufaktur yang lemah. PMI Manufaktur AS menurut data ISM, selama empat bulan terakhir terus turun dan berada di zona kontraksi.
Indeks PMI Manufaktur S&P Global AS ada di angka 49,6 pada Juli 2024 atau terendah sepanjang tahun ini. Kondisi ini menunjukkan adanya penurunan dalam kondisi bisnis di sektor manufaktur AS.
Indeks PMI Jasa ISM di AS merosot ke 48,8 pada Juni 2024, penurunan tajam terbesar sejak April 2020. Indeks sentimen konsumen Universitas Michigan menjadi 66,4 pada Juli 2024, angka terendah dalam delapan bulan terakhir.
Hal ini membawa kesimpulan pelaku pasar bahwa ancaman resesi meningkat di AS, yang kemudian memicu kekhawatiran akan terjadinya hard landing karena bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) dinilai lambat melakukan quantitative easing seperti yang terjadi saat pandemi Covid-19 lalu.
"Ini adalah dinamika risiko-off klasik. Kita dapat berdebat apakah besaran pastinya benar, tetapi secara arah, pergerakan yang kita lihat konsisten dengan data ekonomi yang mengecewakan dan sentimen di bawah tekanan dari pendapatan," kata Stuart Kaiser, kepala strategi perdagangan ekuitas AS di Citi, dikutip dari The Financial Times.
Tak hanya pasar saham AS, imbal hasil obligasi AS juga anjlok menyusul data pekerjaan karena investor berbondong-bondong mencari aset safe haven seperti obligasi pemerintah dan bertaruh bahwa The Fed akan dipaksa untuk menanggapi pelemahan ekonomi dengan pemangkasan cepat biaya pinjaman.
Imbal hasil (yield) 10 tahun AS turun 16 basis poin (bp) menjadi 3,82%, terendah sejak Desember 2023.
"The Fed melempar dadu sekali lagi pada hari Rabu dan mereka terbukti salah," kata kata Steven Blitz, kepala ekonom AS di TS Lombard, dilansir dari The Financial Times.
Investor kini mengharapkan The Fed untuk menurunkan biaya pinjaman lebih dari 100 bp penuh pada akhir tahun, yang menyiratkan pemangkasan setengah poin ekstra besar dari setidaknya satu dari tiga pertemuan yang tersisa.
"Bagian-bagian ekonomi yang sensitif terhadap suku bunga sedang menderita usaha kecil, lapisan konsumen terendah," kata Rick Rieder, kepala investasi untuk pendapatan tetap global di BlackRock.
Di lain sisi, kekhawatiran pelaku pasar juga dapat dilihat dari indeks volatilitas VIX, barometer untuk ukuran volatilitas pasar yang diharapkan, sering juga disebut sebagai "indeks ketakutan".
Semakin tinggi nilai indeks VIX, maka ketidakpastian di pasar semakin meningkat. Melansir data dari google finance, per Jumat pekan lalu, VIX index berada di angka 23,39, dalam sepekan naik 39%.
Kenaikan signifikan hanya dalam lima hari ini sejalan dengan gerak bursa saham dunia yang terkapar di zona merah.
Tak Hanya AS, Jepang Juga Bikin Pasar Khawatir
Kekhawatiran pasar bukan hanya karena dari AS, tetapi juga dari Jepang, di mana dampak dari naiknya suku bunga acuan bank sentral Jepang (Bank of Japan/BoJ) pun membuat pasar semakin khawatir. Apalagi, dampaknya juga sudah menyasar ke pasar saham Jepang.
Pada siang hari ini saja, indeks Nikkei 225 Jepang terpantau ambruk parah yakni hingga 12,4%. Padahal pada perdagangan pagi hari, Nikkei terpantau masih ambruk sekitar 7%.
Bursa saham di Jepang mengalami penurunan terburuk dalam satu hari sejak 2016 silam, di tengah kekhawatiran tentang dampak kenaikan yen terhadap perusahaan-perusahaan Jepang menyusul kenaikan suku bunga BoJ yang mengejutkan di awal pekan lalu.
Aksi jual di Tokyo dipercepat oleh investor ritel Jepang yang memiliki leverage besar yang bergegas keluar dari ETF Nomura NF Nikkei 225. ETF tersebut ditutup 11,46% lebih rendah pada Jumat pekan lalu karena investor individu bergegas untuk membendung kerugian.
"Minggu ini terjadi aksi ambil untung yang gila-gilaan. Dana-dana besar menyingkirkan risiko, dan Jepang menjadi yang paling terpukul setelah mengalami kenaikan yang sangat kuat dan sekarang kondisi makro ekonomi tampak kurang cerah," kata seorang pialang senior di perusahaan sekuritas Jepang.
Sebagian dari kerusakan tersebut disebabkan oleh yen yang lebih kuat, yang telah membuat para eksportir Jepang merasa kurang diuntungkan.
Kenaikan suku bunga tak terduga oleh BoJ dan implikasi bahwa bank tersebut telah memasuki siklus kenaikan suku bunga, bahkan ketika The Fed tampaknya siap untuk memangkas suku bunga, telah mendorong yen jauh lebih tinggi dari yang diperkirakan banyak orang.
Pada level ¥146,93 terhadap dolar pada Jumat lalu, yen sekitar 10% lebih tinggi dari perdagangan pertengahan Juli.
"Kami tidak berpikir bahwa kisah Jepang telah berakhir pada titik ini, tetapi aturan mainnya telah berubah," kata Bruce Kirk, kepala strategi ekuitas Jepang di Goldman Sachs.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(chd/chd)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Tunggu Sikap The Fed, Wall Street Dibuka Loyo
