
Bankir Teriak Soal Likuiditas, BI Beberkan Kondisi Terkini

Jakarta, CNBC Indonesia - Likuiditas perbankan masih menjadi sorotan hingga memasuki semester kedua tahun ini. Pasalnya rentang pertumbuhan kredit terpaut jauh dengan dana pihak ketiga (DPK).
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengatakan bahwa likuidtas bank per Juni 2024 masih memadai. Hal ini tercermin dari rasio alat likuid terhadap DPK (AL/DPK) sebesar 25,36%.
"[AL/DPK] lebih dari cukup karena sepanjang historis AL/DPK tidak lebih dari 15%, jadi lebih dari cukup," kata Perry dalam konferensi pers Hasil Rapat Dewan Gubernur Bulanan Bulan Juli 2024, Rabu (17/7/2024).
Perry mengatakan bahwa likuiditas bank ditopang oleh insentif yang dikeluarkan oleh Bank Sentral. Sepanjang tahun ini, BI telah memberikan insentif likuiditas Rp 205 triliun kepada bank yang rajin menyalurkan kredit kepada sektor prioritas.
"Sehingga kenapa pertumbuhan kredit tinggi, 12,36% yoy [Juni 2024]," tambah Perry.
Sementara itu DPK, kata Perry, penggalangan dana masyarakat oleh perbankan juga cukup baik. Hal ini terlihat dari DPK yang tumbuh 8,45% yoy.
Selain itu likuiditas perbankan juga ditopang oleh aliran dana asing yang masuk ke Indonesia. "Kalau asing inflow, nambah kan likuiditasnya karena mereka bawa valas ditukar ke rupiah," jelas Perry.
Adapun sebelumnya, sejumlah bankir menyoroti tekanan terhadap likuiditas perbankan. "Memang benar daya beli masyarakat turun, sehingga simpanan tabungan di bawah Rp100 sampai dengan Rp200 juta turun. Di samping itu, secara umum likuiditas perbankan memang cukup ketat," ujar Direktur Distribution and Institutional Funding BTN Jasmin saat dihubungi CNBC Indonesia, Selasa (16/7/2024).
Selain itu, bank juga saat ini bukan hanya berebut dana dengan bank lain, tetapi juga dengan berbagai macam instrumen investasi, seperti SBN, SRBI yang dikeluarkan Bank Indonesia (BI), yang menawarkan yield lebih tinggi dibanding deposito perbankan.
"Bahkan rate SRBI lebih tinggi dari SBN, sehingga ada pergeseran investasi asing dari SBN ke SRBI," kata Jasmin.
Senada, eks Presiden Direktur PT Maybank Indonesia Tbk (BNII) Taswin Zakaria mengatakan likuiditas ketat karena tekanan daya beli serta tren penempatan dana di luar deposito perbankan. Dia menyebut bahwa daya beli masyarakat tergerus seiring dengan kenaikan harga-harga barang akibat pelemahan nilai tukar rupiah.
Sementara itu, deposito nominal di bawah Rp200 juta bunganya cenderung rendah, sehingga dana tersebut bisa saja ditempatkan di produk dana murah (CASA). Di sisi lain, ia menyebut alternatif penempatan dana masyarakat juga semakin banyak, selain obligasi.
"Sekarang ini cukup banyak alternatif penempatan dana di luar perbankan dengan bunga tinggi seperti BPR, koperasi, fintech yang bersaing menarik dana deposan keluar dari bank," katanya saat dihubungi CNBC Indonesia, Selasa (16/7/2024).
Direktur Kepatuhan Bank Oke Indonesia Efdinal Alamsyah juga sepakat bahwa kombinasi dari tekanan daya beli masyarakat dan tren pergeseran penempatan dana menjadi penyebab tren menurunnya deposito bank. Namun, ia berpendapat alasan pergeseran dana tidak cukup kuat.
(mkh/mkh)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Bankir Teriak Likuiditas, Ketakutan Jokowi Terbukti Benar?