Neraca Dagang RI Surplus 50 Bulan Beruntun, Dolarnya di Mana?
Jakarta, CNBC Indonesia - Neraca perdagangan Indonesia surplus selama 50 bulan beruntun, setelah pada Juni 2024 surplus neraca ekspor impor mencapai US$ 2,39 miliar. Surplus neraca perdagangan ini terjaga sejak Mei 2020.
Dengan catatan surplus itu, seharusnya dolar dari neraca perdagangan yang terkumpul secara total mencapai US$ 162,52 miliar. Namun, cadangan devisa Indonesia masih sebesar US$ 140,2 miliar per Juni 2024, hanya mengingat 1,2 miliar dibanding Mei 2024.
Pasokan dolar dari neraca perdagangan itu pun belum mampu memperkuat nilai tukar rupiah terhadap dolar AS menguat. Berdasarkan catatan Refinitiv pada Selasa (16/7/2024) di awal perdagangan, nilai tukar rupiah berada di posisi Rp 16.190/US$, melemah 0,15% dari posisi kemarin.
Pergerakan rupiah pun terus melemah hingga catatan pukul 11.17 WIB ke level Rp 16.205/US$. Kurs rupiah terkapar sekitar 0,25% dibanding catatan pada pembukaan perdagangan di level Rp 16.175/US$.
Untuk mengumpulkan dolar hasil ekspor itu, pemerintah sebetulnya telah memiliki instrumen Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2023. Aturan itu mewajibkan para eksportir untuk menyimpan Devisa Hasil Ekspor (DHE) Sumber Daya Alam (SDA) paling sedikit 30% dalam sistem keuangan Indonesia dengan jangka waktu minimal tiga bulan.
Meski begitu, Bank Indonesia mencatat Term Deposit Valuta Asing Devisa Hasil Ekspor (DHE) Sumber Daya Alam (SDA) masih terbilang stagnan di kisaran US$ 12 miliar-US$ 12,5 miliar hingga Mei 2024. Tak ada penambahan signifikan seiring dengan terjaganya surplus neraca perdagangan.
"Posisi saat ini TD Valas DHE dia terus stay di US$ 12 miliar sampai US$ 12,5 miliar, artinya itu terus ada di dalam pasar domestik kita," kata Dewan Gubernur Senior BI Destry Damayanti dalam rapat dengan Komisi XI DPR RI, Senin, (24/6/2024).
Kalangan pengusaha menyatakan telah patuh terhadap kebijakan itu. Namun, Wakil Ketua Komite Tetap Kebijakan Fiskal & Publik Kadin Indonesia Anggana Bunawan menekankan, pengusaha juga masih membutuhkan penempatan dolar hasil ekspor di luar negeri untuk kebutuhan transaksi bisnis dengan mitra asing.
"Sebetulnya pelaku usaha tetap butuh adanya perputaran valuta di luar untuk kebutuhan juga untuk transaksi mitra-mitra di luar negeri," tegasnya.
"Jadi tidak serta merta mengembalikan valuta atau hasil ekspor ke dalam negeri itu menjadi pilihan utama, tetapi tetap diharapkan adanya keseimbangan dari kebijakan dan insentif ke para pelaku usaha yang sudah mengusahakan DHE diparkir di dalam negeri,"ungkap Anggana.
Sementara itu, Destry mengatakan BI melakukan evaluasi terhadap DHE SDA setiap 5 bulan sekali. Dari hasil pemantauan bulan Mei, kata dia, tingkat kepatuhan eksportir terhadap keharusan memarkir dolar di dalam negeri ini mencapai 93%.
Dari jumlah itu, kata dia, sebanyak 38-42% eksportir telah menempatkan dolarnya di berbagai instrumen yang ada di perbankan dalam negeri. "Nah instrumennya ada beberapa, ada yang rekening khusus di perbankan, ada juga yang dalam bentuk Term Deposit di perbankan, dan ada yang di TD Valas DHE di BI," katanya.
Selain itu, Destry mengatakan ada pula yang berbentuk instrumen lainnya di Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI). "Pada saat ini, kami melihat rutin setiap bulan ada tambahan US$ 1,4 miliar," katanya.
Dia mengatakan para eksportir paling banyak menempatkan valasnya di rekening khusus perbankan. Sementara di instrumen milik BI jumlahnya mencapai US$ 2,3 miliar.
Destry meyakini ke depannya eksportir akan semakin mematuhi kebijakan DHE SDA ini. Sebab, kata dia, Menteri Keuangan telah mengeluarkan peraturan yang memberikan insentif pajak kepada eksportir yang menempatkan dolarnya di dalam negeri.
"Saya rasa ini akan mendapatkan respons positif karena adanya pengurangan pajak untuk jenis dana yang ditempatkan di semua instrumen ini," katanya.
(arm/mij)