OJK Buka Suara Soal Usulan Perpanjangan Relaksasi Kredit Covid-19
Jakarta, CNBC Indonesia - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengungkapkan bahwa pihaknya sedang melakukan proses klarifikasi terhadap usulan Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk memperpanjang restrukturisasi kredit Covid-19 perbankan hingga tahun 2025.
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae menekankan bahwa pada dasarnya program restrukturisasi itu sudah selesai pada bulan Maret lalu.
"Kita tentu sedang melakukan konsultasi internal dan juga nanti kita akan melakukan semacam koordinasi atau mungkin klarifikasi lebih lanjut mengenai proposal tersebut ya, karena kan kita sama-sama tahu bahwa perpanjangan restru itu kan sudah berakhir bulan Maret lalu kan jadi ini bukan, istilahnya tentu bukan diperpanjang," ujar Dian di Gedung DPR RI, Kamis (27/6/2024).
Ia mengingatkan bahwa program tersebut dicabut seiring dengan keputusan pemerintah yang mencabut status pandemi Covid-19 di Indonesia pada bulan Oktober lalu. Maka demikian, Dian mengatakan harus diklarifikasi lebih lanjut terkait hal-hal yang mendasari usulan perpanjangan relaksasi tersebut.
Sebab, perbankan sudah mengantisipasi berakhirnya program tersebut dengan membentuk pencadangan (CKPN). Dian menyebut CKPN yang sudah dibentuk perbankan pun memadai.
"Sebetulnya [pencabutan program restrukturisasi kredit Covid-19] itu sudah kita antisipasi ya sebelumnya, bahwa memang itu bank itu bisa dikatakan tidak ada masalah, karena CKPN seluruhnya sudah memadai gitu ya," imbuh Dian.
"Nah, sehingga nanti kalau ada hal-hal lain yang [memberatkan bank] mungkin, karena ini komunikasinya sangat singkat pada waktu itu, kami tentu perlu koordinasi lebih lanjut."
Seperti diberitakan sebelumnya, Jokowi meminta program restrukturisasi kredit terdampak Covid-19 diperpanjang hingga 2025 dalam Sidang Kabinet Senin (24/6/2024). Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan ini dalam rangka mengurangi pencadangan kerugian akibat kredit usaha rakyat (KUR).
Seiring dengan penghentian kebijakan tersebut pada 31 Maret 2024 lalu, industri perbankan mencatat laba Rp 61,87 triliun, hanya naik 2,02% secara tahunan (yoy). Di sisi lain, kenaikan rasio kredit bermasalah atau non performing loan (NPL) gross naik dari 2,25% pada bulan Maret menjadi 2,33% per bulan April.
Usulan ini telah mendapatkan reaksi yang beragam baik dari bankir dan ekonomi. Sebagian besar menyebut kebijakan ini baik untuk membantu pembiayaan UMKM, tetapi sebagian juga mengkhawatirkan terjadinya moral hazard.
Dian mengatakan bahwa sebenarnya, sebelum pencabutan program tersebut, perbankan secara umum merasa keberatan untuk melanjutkan relaksasi. Karena, lanjutnya, mereka sudah merasa situasi ekonomi sudah berangsung pulih.
"Karena mereka merasa bahwa apa namanya, situasi sudah membaik ya. Sehingga jangan sampai kemudian ada efek negatif masalah moral, hal seperti itu," imbuh Dian.
Ia melanjutkan, itu adalah pendapat industri dan otoritas perlu memahami usulan Jokowi.
"Tapi itu adalah pendapat industri ya, tentu kita harus juga menangkap apa yang dimaksud oleh Bapak Presiden. Tentu saja kan kita harus memahami betul, karena ini Bapak Presiden kan tentu bukan main-main ya tentu namanya juga Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan semua gagasan beliau itu harus kita pahami, ini sebetulnya latar belakangnya apa sehingga itu yang belum kita lakukan tetapi akan kita lakukan. Jadi konsultasi [kami] lebih lanjut dengan pemerintah gitu," pungkas Dian.
(fsd/fsd)