Tren Koreksi Saham Penghuni LQ45-MSCI, dari BMRI hingga GOTO
Jakarta, CNBC Indonesia - Saham-saham anggota indeks unggulan LQ45 dan MSCI Indonesia mengalami penurunan sejak awal tahun hingga pekan terakhir Juni 2024 atau year to date (YTD) seiring dengan beberapa katalis di pasar modal yang membuat Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) turun sejak awal tahun.
Mengacu data Bursa Efek Indonesia (BEI), secara YTD per 25 Juni lalu, IHSG terkoreksi hingga 6,02%, Indeks LQ45 turun hingga 12,02%, dan MSCI Indonesia juga ambles 11% pada periode tersebut.
Indeks LQ45 adalah kumpulan indeks berisi 45 saham unggulan dan paling likuid di BEI, sedangkan MSCI Indonesia adalah indeks buatan Morgan Stanley yang berisi 22 saham berkapitalisasi besar dan menengah, mencakup 85% pasar saham Indonesia.
Beberapa saham anggota LQ45 mengalami penurunan tajam bersamaan dengan kondisi makroekonomi dan sentimen global.
Data BEI mencatat hingga perdagangan sesi 2, 26 Juni ini, saham Bank Rakyat Indonesia (BBRI) turun 23,67%, Bank Mandiri (BMRI) turun 2,48%, Telkom Indonesia (TLKM) minus 24%, Astra International turun 22%, Bank Negara Indonesia (BBNI) turun 17%.
Sementara itu saham non-bank seperti PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk (GOTO) turun 40,70%, dan Barito Pacific (BRPT) turun 27%.
Sejumlah saham yang memiliki bobot besar pada indeks LQ45 di antaranya BBRI 15%, BMRI 13,26%, Amman Minerals (AMMN) 5,85%, BBNI 4,21%, Bank Central Asia (BBCA) 15%, TLKM 8,03%, GOTO 2,76%, dan BRPT 1,44%.
Di sisi lain, bobot terbesar di MSCI di antaranya BBCA 27,89%, BBRI 16,09%, BMRI 11,97%, TLKM 7,81%, ASII 4,72%, AMMAN 4,28%, BBNI 3,57%, dan GOTO 2,97%.
Menurut Research Analyst Semesta Indovest Sekuritas Nicholas Dharmawan, tren global membuat IHSG memang sulit tembus level 7.000.
"Indeks LQ45 dan indeks unggulan lain pun terkoreksi. Beberapa faktor pemicu di antaranya Bank Indonesia atau BI yang menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin (bps) ke level 6,25%," katanya di Jakarta.
Dia mengatakan, kenaikan suku bunga dapat memicu investor beralih ke instrumen investasi lain seperti obligasi, dibandingkan saham. Rupiah juga semakin melemah, sementara imbal hasil SBN juga menguat.
Menurut dia, tren suku bunga yang masih tinggi memang membuat instrumen yang lebih konservatif diminati sehingga saham termasuk sektor teknologi yang cenderung membutuhkan horison investasi lebih panjang sehingga mengalami rebalancing.
"Namun ketika mulai terlihat adanya tren pembalikan suku bunga, saham teknologi juga akan mendapatkan katalis positif," kata Nicholas.
(rah/rah)