Rumor Rasio Utang RI Dikerek ke 50% PDB, Tim Prabowo: Tak Mungkin!

Jakarta, CNBC Indonesia - Tim Gugus Tugas Sinkronisasi Pemerintahan Prabowo-Gibran Thomas Djiwandono kembali menegaskan, Presiden Terpilih Prabowo Subianto tidak akan membuat rasio utang APBN pada 2025 melonjak hingga 50%.
Hal ini disampaikan Anggota Bidang Keuangan Tim Gugus Tugas Sinkronisasi Pemerintahan Prabowo-Gibran Thomas Djiwandono terhadap pemberitaan beberapa pekan terakhir yang menyebut batas rasio utang dalam APBN pada 2025 akan membengkak hingga 50% PDB.
"Rasio utang terhadap PDB yang pernah mungkin beberapa minggu lalu disebut di atas 50% itu tak mungkin," kata Thomas saat konferensi pers bersama Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, dan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati di Kantor Pusat Ditjen Pajak, Jakarta, Senin (24/6/2024).
Ia menekankan, hal ini disebabkan defisit Racangangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2025 telah ditetapkan dalam rentang 2,29% sampai dengan 2,82% PDB, sehingga masih akan jauh di bawah batas aman rasio utang terhadap PDB sesuai Undang-Undang Keuangan Negara.
"Nanti silahkan saja dihitung, intinya kami komitmen terhadap target yang sudah direncanakan kini dan telah disepakati dengan DPR," ucap Thomas.
Isu akan melonjaknya rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) dalam anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) pada 2025, atau saat menjabatnya presiden terpilih Prabowo Subianto, sempat mempengaruhi sentimen pelaku pasar keuangan di dalam negeri.
Isu ini menurut beberapa ekonom turut menjadi salah satu faktor penekan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat beberapa hari terakhir, hingga akhirnya tembus ke level atas Rp 16.400/US$. Sebab, sentimen pelaku pasar keuangan menjadi negatif hingga menyebabkan aliran modal asing keluar dari dalam negeri.
Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengamini isu keberlanjutan pengelolaan fiskal menjadi sentimen dalam negeri yang melemahkan rupiah. Dia yakin sentimen itu hanya bersifat sementara, karena fundamental ekonomi RI baik-baik saja.
"Masalah persepsi sustainabilitas fiskal ke depan itu membuat sentimen kemudian menjadi tekanan nilai tukar rupiah," kata dia.
"Fundamentalnya ke depan rupiah akan menguat, cuma pergerakan dari bulan ke bulan tergantung dari sentimen-sentimen ini," kata Perry melanjutkan.
(arm/mij)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article APBN Surplus, Sri Mulyani Tetap Tarik Utang Baru Rp104,7 T