BI Rate Naik di April & Tetap 6,25% di Mei, Ini Penjelasannya!
Jakarta CNBC Indonesia - Dewan Gubernur Bank Indonesia mempertahankan suku bunga acuannya di level 6,25% pada Mei 2024, setelah pada April kebijakan BI Rate mereka tetapkan naik sebesar 25 basis points dari sejak Oktober 2023 sampai Mei 2024 ditahan di level 6%.
Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan, kebijakan BI Rate itu ditahan mempertimbangkan kebijakan moneter yang yang antisipatif untuk menahan laju inflasi tetap di kisaran sasaran 2,5% plus minus 1% hingga akhir tahun ini sampai 2025.
"Keputusan ini konsisten dengan kebijakan moneter pro-stability, yaitu sebagai langkah pre-emptive dan forward looking untuk memastikan inflasi tetap terkendali dalam sasaran," kata Perry saat konferensi pers di kantor pusat BI, Jakarta, Rabu (22/5/2024)
Sementara itu, kebijakan makroprudensial dan sistem pembayaran tetap BI arahkan pro-growth untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Kebijakan makroprudensial longgar terus ditempuh untuk mendorong kredit/pembiayaan perbankan kepada dunia usaha dan rumah tangga.
"Kebijakan sistem pembayaran diarahkan untuk memperkuat keandalan infrastruktur dan struktur industri sistem pembayaran, serta memperluas akseptasi digitalisasi sistem pembayaran," tegasnya.
Kebijakan suku bunga acuan itu juga mempertimbangkan kondisi global yang terjadi beberapa hari kebelakang ini. Di antaranya penguatan ekonomi AS, dengan laju pertumbuhan yang kuat dan inflasinya yang masih terjaga.
"Ekonomi AS tumbuh kuat ditopang oleh perbaikan permintaan domestik, termasuk fiskal akomodatif, dan kenaikan ekspor. Inflasi AS pada April 2024 tetap tinggi sejalan dengan pertumbuhan ekonomi AS yang kuat tersebut, meski melambat dibandingkan dengan inflasi Maret 2024," ucap Perry.
Perry mengungkapkan, perkembangan inflasi ini meningkatkan kemungkinan penurunan Fed Funds Rate (FFR) pada akhir 2024. Pada saat bersamaan, risiko memburuknya ketegangan geopolitik sejak akhir April 2024 juga tidak berlanjut.
"Berbagai kondisi ini berdampak positif pada tertahannya penguatan dolar AS secara global dan menurunnya yield US Treasury dibandingkan dengan kondisi pada pertengahan April 2024, meski masih berada pada level yang tinggi," tuturnya.
Aliran modal ke negara berkembang ia anggap juga terus kembali terjadi dan mengurangi tekanan terhadap nilai tukar mata uang termasuk rupiah. Karena itu, ia memastikan, ke depan, risiko terkait arah penurunan FFR dan dinamika ketegangan geopolitik global tetap perlu dicermati meski ada peredaan.
"Karena dapat kembali mendorong kenaikan ketidakpastian pasar keuangan global, menekan mata uang negara berkembang, meningkatkan tekanan inflasi, dan menurunkan prospek pertumbuhan ekonomi dunia. Kondisi ini memerlukan respons kebijakan yang kuat untuk memitigasi dampak negatif dari rambatan ketidakpastian global tersebut terhadap perekonomian di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia," tegasnya.
Dari sisi domestik, pertimbangan suku bunga acuan yang ditahan pada bulan ini ia tegaskan mengacu pada pentingnya menjaga daya tahan pertumbuhan ekonomi ke depan di tengah ketidakpastian global yang masih sangat tinggi. Apalagi, pertumbuhan ekonomi pada kuartal I-2024 mampu tumbuh 5,11% dari kuartal IV-2023 yang hanya 5,04%.
Perkembangan ekonomi yang harus dijaga trennya itu kata dia didukung oleh permintaan domestik, konsumsi swasta dan pemerintah membaik didorong oleh dampak positif pelaksanaan Pemilu 2024 dan hari libur nasional terkait dengan Hari Besar Keagamaan Nasional. Investasi juga tumbuh baik, terutama ditopang oleh investasi bangunan seiring berlanjutnya pembangunan infrastruktur.
Sementara itu, dari sisi ekspor melambat sejalan dengan masih lemahnya permintaan dari mitra dagang utama. Oleh sebab itu, ia menekankan, laju pertumbuhan harus terus dijaga melalui dukungan kebijakan makroprudensial dan stabilnya neraca eksternal Indonesia.
"Dengan berbagai perkembangan tersebut, pertumbuhan ekonomi 2024 diprakirakan berada dalam kisaran 4,7-5,5%. Bank Indonesia terus memperkuat sinergi untuk mendukung pertumbuhan ekonomi berkelanjutan, khususnya dari sisi permintaan, melalui stimulus kebijakan makroprudensial yang ditempuh dengan stimulus fiskal Pemerintah," ucapnya.
Kondisi eksternal yang tercermin dari defisit transaksi berjalan menurutnya juga kini sudah kembali stabil, didukung oleh aliran modal asing yang kembali kuat masuk, neraca perdagangan yang terus terjaga surplus, hingga posisi cadangan devisa atau cadev yang lebih dari cukup sebesar US$ 136,2 miliar.
Dengan demikian, Perry memperkirakan, keseluruhan neraca pembayaran Indonesia atau NPI pada 2024 masih akan terus terjaga dan perlu didorong dengan kebijakan moneter yang akomodatif dengan transaksi berjalan dalam kisaran defisit rendah sebesar 0,1% sampai dengan 0,9% dari PDB.
Nilai tukar Rupiah secara bulanan pada Mei 2024 atau tepatnya hingga 21 Mei 2024 juga menurutnya kembali menguat 1,66% (ptp), setelah pada April 2024 melemah 2,49% (ptp). Didorong oleh dampak positif respons bauran kebijakan moneter Bank Indonesia pada April 2024.
Aliran masuk modal asing, terutama ke SBN dan SRBI, juga ia tekankan sudah masuk sebesar 4,2 miliar dolar AS pada bulan Mei 2024 (hingga 20 Mei 2024). Dengan perkembangan ini, nilai tukar Rupiah melemah 3,74% dari level akhir Desember 2023, lebih baik dibandingkan dengan pelemahan Peso Filipina, Won Korea, dan Baht Thailand masing-masing sebesar 4,91%, 5,52%, dan 5,99%.
"Ke depan, nilai tukar Rupiah diprakirakan stabil dengan kecenderungan menguat didorong oleh imbal hasil yang menarik sejalan dengan kenaikan BI-Rate, premi risiko yang turun, prospek ekonomi yang lebih baik, dan komitmen Bank Indonesia untuk terus menstabilkan nilai tukar Rupiah," ucap Perry.
Terakhir, pertimbangan dari sisi inflasi ia katakan sejauh ini masih stabil, tercermin dari Inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK) April 2024 tercatat menurun dari 3,05% (yoy) pada Maret 2024 menjadi sebesar 3,00% (yoy). Perkembangan ini dipengaruhi oleh inflasi inti dan inflasi administered prices (AP) yang rendah masing-masing sebesar 1,82% (yoy) dan 1,54% (yoy).
Sementara itu, inflasi volatile food (VF) menurun dari 10,33% (yoy) menjadi sebesar 9,63% (yoy) sejalan dengan penurunan harga komoditas pangan terutama dipengaruhi oleh mulai masuknya masa panen, serta berlanjutnya sinergi pengendalian inflasi oleh Bank Indonesia dan Pemerintah.
Ia pun meyakini inflasi IHK 2024 tetap terkendali dalam sasarannya. Inflasi inti diprakirakan terjaga seiring ekspektasi inflasi yang terjangkar dalam sasaran, kapasitas perekonomian yang masih besar dan dapat merespons permintaan domestik, imported inflation yang terkendali sejalan kebijakan stabilisasi nilai tukar Rupiah Bank Indonesia, serta dampak positif berkembangnya digitalisasi.
Inflasi VF diperkirakan juga kembali menurun seiring peningkatan produksi akibat masuknya musim panen dan dukungan sinergi pengendalian inflasi Tim Pengendali Inflasi Pusat dan Tim Pengendali Inflasi Daerah melalui Gerakan Nasional Pengendali Inflasi Pangan di berbagai daerah.
"Bank Indonesia akan terus memperkuat kebijakan moneter pro-stability dan meningkatkan sinergi kebijakan dengan Pemerintah Pusat-Daerah sehingga inflasi tahun 2024 dan 2025 tetap terkendali dalam sasaran 2,5±1%," ucap Perry.
(arm/mij)