
Simak! Keputusan Lengkap BI Tahan Suku Bunga Acuan 6%

Jakarta, CNBC Indonesia - Dewan Gubernur Bank Indonesia (BI) kembali mempertahankan suku bunga acuan di level 6%. Tingkat suku bunga BI Rate itu hasil rapat dewan gubernur BI pada 20-21 Februari 2024.
Tingkat BI Rate itu telah dipertahankan selama lima bulan berturut-turut, sejak 19 Oktober 2023 lalu. Seiring dengan suku bunga Deposit Facility sebesar 5,25%, dan suku bunga Lending Facility sebesar 6,75%.
Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan, keputusan mempertahankan BI-Rate pada level 6,00% tetap konsisten dengan fokus kebijakan moneter yang pro-stability.
"Yaitu untuk penguatan stabilisasi nilai tukar Rupiah serta langkah pre-emptive dan forward looking untuk memastikan inflasi tetap terkendali dalam sasaran 2,5±1% pada 2024," kata Perry saat konferensi pers di kantornya, Jakarta, Rabu (21/2/2024).
Sementara itu, kebijakan makroprudensial dan sistem pembayaran tetap pro-growth untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Kebijakan makroprudensial longgar terus ditempuh untuk mendorong kredit/pembiayaan perbankan kepada dunia usaha dan rumah tangga.
Akselerasi digitalisasi sistem pembayaran, termasuk digitalisasi transaksi keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah juga terus didorong untuk meningkatkan volume transaksi dan memperluas inklusi ekonomi-keuangan digital.
Perry menjelaskan, kebijakan mempertahankan suku bunga acuan itu didasari dari proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia yang lebih baik dibanding proyeksi sebelumnya. Meskipun BI anggap ketidakpastian pasar keuangan masih tinggi.
"Ekonomi global diperkirakan tumbuh sebesar 3,1% pada 2023 dan 3,0% pada 2024, lebih tinggi dibandingkan dengan proyeksi sebelumnya masing-masing sebesar 3,0% dan 2,8%," ucap Perry.
![]() |
Perbaikan terutama ditopang lebih kuatnya kinerja ekonomi Amerika Serikat (AS) dan India sejalan dengan konsumsi dan investasi yang tinggi. Sementara itu, pertumbuhan ekonomi Tiongkok yang masih lemah serta kontraksi pertumbuhan ekonomi di Inggris dan Jepang yang telah terjadi dalam dua triwulan berturut-turut dapat menurunkan prospek pertumbuhan ekonomi dunia.
Eskalasi ketegangan geopolitik yang masih berlanjut juga dapat mengganggu rantai pasokan, meningkatkan harga komoditas pangan dan energi, serta menahan laju penurunan inflasi global. Perkembangan ini mengakibatkan ketidakpastian di pasar keuangan dunia masih tinggi.
"Suku bunga Fed Funds Rate (FFR) diperkirakan baru mulai menurun pada semester II 2024, sejalan dengan inflasi AS yang masih tinggi. Yield US Treasury kembali meningkat sejalan dengan premi risiko jangka panjang (term-premia)," ucap Perry.
Dari dalam negeri, pertimbangan suku bunga acuan itu didasari atas prospek ekonomi Indonesia yang masih lebih baik. Tercermin dari realisasi pertumbuhan pada kuartal IV-2023 yang tumbuh 5,04% meningkat dari 4,94% pada kuartal sebelumnya, sehingga secara keseluruhan 2023 tumbuh 5,05%.
"Pertumbuhan terutama didukung oleh kenaikan ekspor, peningkatan investasi bangunan, dan dampak positif pelaksanaan Pemilu," tutur Perry.
Ia menekankan, selain pertumbuhan ekonomi yang tetap tinggi nilai tukar rupiah juga masih terkendali, meski sedikit melemah 1,68% dari level akhir Desember 2023, namun lebih baik dibandingkan dengan pelemahan Won Korea, Ringgit Malaysia, dan Baht Thailand masing-masing sebesar 3,69%, 4,27%, dan 5,31%.
Inflasi pun terjaga rendah dalam kisaran sasaran 2,5±1% didukung oleh kebijakan moneter Bank Indonesia yang pro-stability. Inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK) Januari 2024 tercatat sebesar 2,57% (yoy) menurun dari inflasi bulan sebelumnya sebesar 2,61% (yoy) sehingga tetap berada dalam kisaran 2,5±1%.
"Penurunan inflasi terjadi pada inflasi inti, sebagai hasil nyata konsistensi kebijakan moneter Bank Indonesia yang pro-stability serta sinergi erat kebijakan Bank Indonesia dengan Pemerintah Pusat dan Daerah," ungkap Perry.
Kredit perbankan pun menurut BI masih tumbuh tinggi, pada Januari 2024 tumbuh 11,83% (yoy) didorong oleh masih kuatnya sisi penawaran dan permintaan. Dari sisi penawaran, kapasitas permodalan perbankan yang kuat dan likuiditas yang memadai turut menopang peningkatan kredit.
"Ketersediaan likuiditas perbankan tercermin pada tingginya rasio AL/DPK sebesar 27,79% dan didukung pula oleh kebijakan insentif likuiditas makroprudensial (KLM) Bank Indonesia, khususnya bagi bank-bank yang menyalurkan kredit pada sektor-sektor prioritas," ucap Perry.
(mij/mij)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Simak! Keputusan Lengkap BI Tahan Suku Bunga Acuan 6%