Pak Jokowi, Bank Sulit Dorong Kredit, Permintaannya Lesu!
Jakarta, CNBC Indonesia - Presiden Joko Widodo atau Jokowi meminta perbankan menggenjot penyaluran kredit. Akan tetapi masalahnya permintaan pembiayaan tengah lesu, sehingga banyak bank lebih memilih memarkir dananya di surat berharga.
Ekonomi Senior Indef Aviliani mengatakan pada dasarnya perbankan mengikuti arah bisnis. "Bank itu kan follow the business, kalau bisnisnya nggak ada yang minta, ya buat bank mau ditaruh di mana lagi uangnya?" katanya usai PTBI, Rabu (29/11/2023).
Dia juga mengatakan target Bank Indonesia mematok pertumbuhan kredit 10%-12% tahun depan terbilang berat. Pasalnya saat ini proyek infrastruktur masih tertahan, padahal sektor ini yang menyerap dana dalam jumlah besar.
Selain itu, kata dia, perusahaan tambang cenderung baru mendapatkan perizinan usai pemilihan umum (pemilu). Oleh karena itu dia menilai target kredit 10%-12% dapat tercapai dengan sejumlah catatan, satu di antaranya proyek infrastruktur kembali berjalan.
"Yang kedua bisnis-bisnis di sektor manufaktur yang skala besar dan menciptakan lapangan kerja itu tercipta gitu," jelasnya.
Dia pun menilai bank saat ini memerlukan arah penyaluran kredit yang jelas. "Karena sekarang ini dikatakan ini sektornya sunset segala macam. Nah kan belum tentu sunset kan. Nah karena tidak ada arahan yang jelas ke mana kalau yang sektor apa aja, ya sekarang bank udah kayak gitu loh," pungkasnya.
Sebelumnya Jokowi meminta perbankan agar tidak menghabiskan likuiditas untuk membeli instrumen yang diterbitkan Bank Indonesia (BI) dan Kementerian Keuangan (Kemenkeu).
"Saya mengajak seluruh perbankan harus prudent harus hati-hati tapi tolong lebih di dorong lagi kreditnya, terutama bagi umkm," kata Jokowi dalam Pertemuan Tahunan Bank Indonesia (PTBI) di Kantor Pusat BI, Jakarta, Rabu (29/11/2023)
Jokowi menyatakan, berdasarkan laporan pelaku usaha, peredaran uang kini makin kering. Ada indikasi, kata Jokowi, hal tersebut terjadi karena pembelian instrumen yang diterbitkan oleh Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia.
"Jangan-jangan terlalu banyak yang di pakai untuk membeli SBN atau terlalu banyak yang dipakai untuk membeli SRBI atau SVBI. Sehingga yang masuk ke sektor riil berkurang," paparnya.
Adapun berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), surat berharga yang dimiliki bank per September 2023 senilai Rp 1.889,7 triliun, naik 3,59% secara tahunan (yoy). Pada periode yang sama kredit yang disalurkan bank kepada pihak ketiga tumbuh lebih tinggi atau 8,96% yoy menjadi Rp 6.837,3 triliun.
Namun bila dilihat lebih detail, pertumbuhan surat berharga bank swasta nasional hampir setara dengan pertumbuhan kredit yang disalurkan kepada pihak ketiga. Per September 2023, surat berharga naik 7,15% yoy sedangkan kredit tumbuh 7,84% yoy.
Begitu pula dengan kantor cabang bank asing yang lebih memilih menaruh dananya di surat berharga. Hal ini terlihat dari pertumbuhan surat berharga sebesar 35,79% yoy, pada saat kredit merosot 4,71% yoy.
Kontras dengan bank BUMN yang pertumbuhan kreditnya 10,98% yoy dan surat berharga kontraksi 2,38% yoy.
Ketua Perhimpunan Bank Milik Negara (Himbara) Sunarso mengatakan bahwa pertumbuhan kredit bank pelat merah di atas rata-rata industri. Hal ini menunjukkan bank BUMN tetap mendorong pertumbuhan kredit di tengah isu likuiditas.
"Rata-rata pertumbuhan kredit 11,04% [yoy] dan itu di atas rata-rata pertumbuhan kredit industri, 8,9% [yoy]," katanya.
(mkh/mkh)