
Bursa Asia Masih Merana, Ada Apa?

Jakarta, CNBC Indonesia - Mayoritas bursa Asia-Pasifik kembali melemah pada awal perdagangan Rabu (29/11/2023), karena investor menilai komentar-komentar dari para anggota dewan bank sentral Amerika Serikat (AS) terkait arah suku bunga kedepannya.
Per pukul 08:30 WIB, indeks ASX 200 Australia menguat 0,45% dan Straits Times Singapura terapresiasi 0,51%.
Sedangkan sisanya kembali melemah. Indeks Nikkei 225 Jepang turun tipis 0,03%, Hang Seng Hong Kong melemah 0,12%, Shanghai Composite China juga turun tipis 0,02%, dan KOSPI Korea Selatan terkoreksi 0,18%.
Bursa Asia-Pasifik yang masih melemah terjadi meski bursa saham AS, Wall Street menguat pada akhir perdagangan Selasa kemarin.
Indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) ditutup menguat 0,24%, S&P 500 naik 0,1%, dan Nasdaq Composite terapresiasi 0,29%.
Penguatan ketiga indeks menjadi kabar gembira mengingat ketiganya ambruk pada perdagangan Senin awal pekan ini.
Indeks menghijau salah satunya ditopang oleh optimisme pasar mengenai kebijakan bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed).
Gubernur The Fed Christopher Waller mengungkapkan rasa percaya dirinya jika kebijakan The Fed "saat ini sudah dalam posisi yang baik" dalam menekan inflasi.
Waller juga mengatakan The Fed mungkin mulai menurunkan suku bunga jika inflasi terus menurun dalam tiga hingga lima bulan ke depan.
Namun sebaliknya, Gubernur The Fed Michelle Bowman mengatakan kenaikan suku bunga lebih lanjut mungkin diperlukan karena dinamika yang terus berkembang membuat inflasi tetap tinggi.
Investor juga mengikuti data ekonomi mengenai berbagai topik termasuk harga rumah dan indeks kepercayaan konsumen (IKK). Harga rumah di ASnaik 6% (year-on-year/yoy) pada September 2023, yang merupakan rekor tertingginya dalam sembilan bulan.
Harga perumahan terus meningkat pada September lalu, meskipun ada tekanan di pasar real estate dan ekspektasi bahwa biaya hunian akan mulai turun.
Indeks S&P CoreLogic Case-Shiller untuk 20 pasar besar di AS membukukan kenaikan 12 bulan sebesar 3,9%, menurut data yang dirilis Selasa. Angka tersebut sejalan dengan perkiraan Dow Jones dan lebih tinggi dari kenaikan 2,1% pada Agustus lalu.
Sementara itu IKKAS menembus 102 pada November 2023, jauh lebih tinggi dibandingkan Oktober yang tercatat 99,1 dan jauh di atas ekspektasi pasar yakni 101. KenaikanIKK sejalan dengan derasnya konsumsi masyarakat AS di tengah musim diskon menjelang akhir tahun.
Di lain sisi, investor masih menanti katalis utama pekan ini, termasuk rilis pendapatan emiten di AS, data inflasi Personal Consumption Expenditure (PCE), dan pertemuan OPEC+.
Terkait pertemuan OPEC+, pembicaraan mengenai kebijakan minyak tahun 2024 sulit dilakukan, sehingga membuat perjanjian sebelumnya mungkin diperpanjang dibandingkan pengurangan produksi yang lebih dalam.
Pertemuan tersebut telah ditunda mulai tanggal 26 November. Sumber-sumber OPEC+ mengatakan hal ini disebabkan oleh ketidaksepakatan mengenai tingkat produksi bagi produsen-produsen Afrika, meskipun sumber-sumber tersebut mengatakan bahwa kelompok tersebut telah semakin mendekati kompromi mengenai hal ini.
Sementara itu terkait inflasi PCE, diperkirakan melandai menjadi 3,4% secara tahunan (year-on-year/yoy) dan menurun menjadi 0,2% secara bulanan (month-to-month/mtm).
Dari pasar obligasi pemerintah, imbal hasil (yield) US Treasury acuan kembali melandai, makin menjauhi level tertingginya sejak 2007 silam.YieldTreasury tenor 10 tahun melandai 10 basis poin (bp) menjadi 4,37%.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(chd/chd)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Investor Masih Lakukan Aksi Profit Taking, Bursa Asia Lesu Lagi
