Rupiah Menguat, Asing Makin Doyan Serbu Pasar Keuangan RI?
Jakarta, CNBC Indonesia - Rupiah kembali menguat terhadap dolar Amerika Serikat (AS), pasca rilisnya data uang beredar arti luas (M2) yang bertumbuh di level terendah sepanjang sejarah dan adanya kedatangan dana asing dua pekan berturut-turut.
Dilansir dari Refinitiv, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS ditutup menguat ke level Rp15.430/US$ atau terapresiasi 0,39% pada perdagangan Selasa (28/11/2023). Penguatan nilai tukar rupiah ini menjadikan rupiah bertahan di atas level psikologis Rp 15.500/US$.
Sementara, indeks dolar AS (DXY) pada pukul 14.37 WIB naik tipis 0,03% menjadi 103,23. Angka ini merupakan yang terendah sejak 30 Agustus 2023.
Dalam dua pekan terakhir, pergerakan rupiah terus mengalami penguatan, yang secara dominan dipicu oleh aliran dana asing yang terus masuk ke pasar keuangan domestik. Bank Indonesia (BI) merilis data transaksi dari 20 hingga 23 November 2023, yang mencatatkan beli neto investor asing sebesar Rp7,03 triliun.
Rinciannya mencakup beli neto Rp1,59 triliun di pasar Surat Berharga Negara (SBN), beli neto Rp0,30 triliun di pasar saham, dan beli neto Rp5,13 triliun di Surat Berharga Bank Indonesia (SRBI).
Pada pekan ketiga November, arus masuk modal dari luar negeri terus berlanjut, mencapai total Rp7,33 triliun.
Faktor penguatan rupiah juga datang dari hasil rilis BI, kemarin (27/11/2023), terkait pertumbuhan uang beredar dalam arti luas (M2) periode Oktober 2023, tercatat tumbuh tipis sebesar 3,4% (year on year/yoy).
Sementara itu, pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) perbankan juga hanya tumbuh 3,9% secara tahunan (yoy) per Oktober 2023, menjadi Rp 7.982,3 triliun. Angka pertumbuhan tersebut mengalami perlambatan signifikan dibandingkan dengan bulan sebelumnya yang mencapai 6,4% yoy.
Meskipun demikian, Gubernur BI, Perry Warjiyo, menyatakan bahwa likuiditas perbankan tetap memadai untuk mendukung stabilitas sistem keuangan. Hal ini disokong oleh efektivitas implementasi Kebijakan Likuiditas Moneter (KLM) yang berlaku sejak 1 Oktober 2023.
Indikasi ini menunjukkan bahwa inflasi dapat ditekan ke depan, dan jika terjadi kenaikan, seharusnya tidak signifikan sehingga suku bunga BI tidak perlu dinaikkan kembali untuk mengatasi inflasi di Indonesia.
Sebagai catatan, konsensus pasar mengenai data inflasi yang akan dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada 1 Desember 2023, memproyeksikan angka sekitar 2,7% yoy. Meskipun sedikit lebih tinggi dari periode sebelumnya, yaitu 2,56% yoy, namun tetap berada dalam rentang yang dapat dianggap wajar.
Dengan demikian, keberlanjutan aliran dana asing dan stabilitas likuiditas perbankan memberikan gambaran positif bagi rupiah dan prospek ekonomi Indonesia ke depan.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(mza/mza)