
Minim Sentimen Positif, Bursa Asia Ramai-ramai Melemah

Jakarta, CNBC Indonesia - Mayorita bursa Asia-Pasifik melemah pada awal perdagangan Kamis (23/11/2023), di tengah cerahnya kembali pasar saham Amerika Serikat (AS) kemarin atau menjelang libur Hari Thanksgiving di AS.
Per pukul 08:30 WIB, hanya indeks KOSPI Korea Selatan yang menguat pada pagi hari ini, yakni sebesar 0,3%.
Sedangkan sisanya melemah. Indeks Hang Seng Hong Kong melemah 0,48%, Shanghai Composite China turun tipis 0,05%, Straits Times Singapura terkoreksi 0,18%, dan ASX 200 Australia terpangkas 0,45%.
Sementara untuk indeks Nikkei 225 Jepang pada hari ini tidak dibuka karena sedang libur memperingati Hari Buruh di Jepang.
Dari Australia, data awal dari aktivitas manufaktur dan jasa yang tergambarkan pada Purchasing Manager's Index (PMI) periode November 2023 versi Judo Bank telah dirilis pada pagi hari ini.
Data terbaru menunjukkan lebih banyak bukti mengenai perlambatan aktivitas ekonomi di Australia pada November 2023. PMI manufaktur pada bulan ini berada di angka 47,7, dibandingkan dengan bulan sebelumnya sebesar 48,2, yang merupakan angka terburuk dalam 42 bulan.
Sementara itu, PMI jasa turun menjadi 46,3, dibandingkan 47,9 pada bulan sebelumnya, dan PMI Komposit mencapai level terendah dalam 27 bulan terakhir di 46,4 pada bulan ini, dari angka sebelumnya di 47,6 pada Oktober lalu.
Hal ini menandakan bahwa sektor manufaktur dan jasa di Negeri Kanguru kembali berkontraksi.
Di lain sisi, bursa Asia-Pasifik yang cenderung melemah terjadi di tengah menguatnya kembali bursa saham AS, Wall Street kemarin, jelang libur Thanksgiving
Indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) ditutupmenguat 0,53%, S&P 500 bertambah 0,41%, dan Nasdaq Composite terapresiasi 0,46%.
Investor melakukan transaksi besar menjelang libur Thanksgiving. Selain itu, penurunan imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS (US Treasury) juga menjadi penopang kenaikan Wall Street.
Yield Treasury tenor 10 tahun melandai ke 4,37% pada perdagangan kemarin, posisi terendahnya sejak 22 September lalu.
Turunnyayieldmenunjukkan harga obligasi yang sedang naik demikian juga sebaliknya, sehingga ini mengindikasikan investor sedang membeli obligasi AS. Pembelian obligasi ini menandakan pelaku pasar yang melihat pasar AS yang sudah lebih kondusif dari ketidakpastian.
Pergerakan tersebut terjadi setelah bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) memberi isyarat dalam catatan pertemuan terbarunya bahwa kebijakan moneter akan tetap bersifat restriktif, dan tidak memberikan indikasi penurunan suku bunga dalam waktu dekat.
The Fed merilis risalah untuk pertemuan FOMC pada Oktober lalu pada Selasa waktu AS atau Rabu dini hari waktu Indonesia. Risalah FOMC menunjukkan jika pejabat The Fed akan lebih berhati-hati dalam menentukan kebijakan suku bunga. Mereka juga mengisyaratkan hanya akan menaikkan suku bunga jika upaya untuk mengendalikan inflasi goyah.
Tidak hanya itu, dasar pertimbangan akan menunjukkan sedikit perubahan dari obsesi mengendalikan inflasi hingga 2% menjadi menahan suku bunga acuan tetap stabil, khususnya jika tidak ada kejutan kenaikan harga signifikan.
Risalah tersebut menambahkan jika anggota komite tetap mempertimbangkan untuk mengetatkan kebijakan moneter jika data yang berkembang menunjukkan target The fed dalam menekan inflasi tak memadai.
Alhasil, pelaku pasar memprediksi bahwa The Fed akan kembali menahan suku bunga acuannya pada pertemuan terakhir di tahun ini yakni pada Desember mendatang.
Perangkat CME FedWatch Tool menunjukkan pelaku pasar melihat kemungkinan 95,2% The Fed akan menahan suku bunga pada pertemuan 11-12 Desember mendatang. Namun, ada juga pelaku pasar yang memprediksi The Fed akan menaikkan suku bunga acuannya sebesar 25 bp, yakni sebanyak 4,8%.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(chd/chd)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Perdagangan Perdana di 2024, Bursa Asia Dibuka Beragam
