
Ampun Mr Powell, Rupiah Mau Dibawa Kemana Lagi?

Jakarta, CNBC Indonesia - Rupiah sepanjang pekan ini kembali menguat tipis melawan dolar Amerika Serikat (AS) meski secara mayoritas menunjukkan tren pelemahan, hanya menguat sekali dan terkoreksi dalam 4 hari perdagangan. Masih menguatnya mata uang Garuda disebabkan oleh melesatnya rupiah di atas 1% pada perdagangan hari Senin (6/11/2023).
Sayangnya, penguatan hari pertama perdagangan awal pekan ini tidak dapat dilanjutkan. Rupiah malah ambles 4 hari perdagangan beruntun setelahnya. Hal ini mengimplikasikan adanya tren penurunan rupiah ke depan.
Hal ini disebabkan Ketua bank sentral AS (The Fed), Jerome Powell memberikan kode bahwa inflasi cukup sulit mencapai target yang ditentukan, sehingga memungkinkan adanya pengetatan kembali. Pernyataan ini mematahkan harapan pelaku pasar yang telah menyaksikan pelemahan data tenaga kerja AS sebagai indikator melunaknya The Fed.
Melansir data Refinitiv, rupiah pada akhir pekan ini, Jumat (10/11/2023) berakhir di posisi Rp15.690/US$, melemah 0,26% secara harian. Pelemahan ini mengurangi penguatan hari senin, menyisakan kenaikan 0,22% dalam sepekan. Kenaikan pekan ini melanjutkan penguatan rupiah pekan sebelumnya.
Powell mengatakan bahwa saat ini Komite Pasar Terbuka Federal berkomitmen untuk mencapai kebijakan moneter yang cukup ketat untuk menurunkan inflasi hingga 2% seiring berjalannya waktu.
"Saya dan rekan-rekan saya merasa bersyukur dengan kemajuan ini, namun kami memperkirakan bahwa proses untuk menurunkan inflasi secara berkelanjutan hingga 2% masih memerlukan perjalanan panjang," tambahnya.
Menurut Powell jika diperlukan pengetatan kebijakan lebih lanjut, the Fed tidak akan ragu untuk melakukannya. "Namun, kami akan terus bergerak dengan hati-hati, sehingga memungkinkan kami mengatasi risiko disesatkan oleh data beberapa bulan yang bagus, dan risiko pengetatan yang berlebihan. Kebijakan moneter secara umum berjalan sesuai dengan apa yang kita pikirkan," tutur Powell.
Hal ini memberikan kekhawatiran bagi pelaku pasar khususnya di Indonesia karena jika The Fed menaikkan suku bunganya, maka selisih suku bunga acuan The Fed dengan Bank Indonesia (BI) akan semakin sempit yang berujung pada capital outflow dan semakin menekan pasar keuangan domestik termasuk rupiah.
Pekan sebelumnya, rupiah sempat menunjukkan penguatan akibat data tenaga kerja AS yang semakin memburuk sebagai indikator pelemahan ekonomi. Data tersebut mendorong ekspektasi pelaku pasar bahwa The Fed akan melunak.
Namun, pernyataan Powell terakhir menyebabkan pelaku pasar kembali 'was-was' dengan kebijakan pengetatan keuangan kembali.
Sebagai catatan, The Fed telah menahan suku bunganya dalam dua pertemuan terakhir atau bertahan di level 5,25-5,5% sejak 20 September 2023. Di sisi lain, tipisnya selisih antara suku bunga AS dan Bank Indonesia yang menyebabkan kejatuhan mata uang Garuda menyebabkan Bank Indonesia kembali menetapkan kebijakan pengetatan.
Bank Indonesia secara mengejutkan mengerek suku bunga sebesar 25 bps ke 6,00% pada 19 Oktober lalu. Kenaikan tersebut menjadi yang pertama sejak Januari 2023. Kenaikan suku bunga dilakukan untuk menjaga nilai tukar rupiah dan membuat return di investasi Indonesia lebih menarik.
"Kebijakan suku bunga itu didukung oleh penguatan stabilisasi nilai rupiah melalui intervensi pasar valas di pasar spot, dan pembelian surat berharga di pasar sekunder," tutur Perry Warjiyo.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(rev/rev)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Segini Harga Jual Beli Kurs Rupiah di Money Changer
