
Bursa Asia Merana di Awal Pekan, Investor Khawatir Apa?

Jakarta, CNBC Indonesia - Bursa Asia-Pasifik dibuka melemah pada perdagangan Senin (23/10/2023), di mana investor cenderung wait and see menanti rilis data inflasi dan data ekonomi lainnya di kawasan tersebut.
Per pukul 08:30 WIB, indeks Nikkei 225 Jepang melemah 0,52%, Shanghai Composite China terkoreksi 0,44%, Straits Times Singapura turun 0,1%, ASX 200 Australia merosot 0,85%, dan KOSPI Korea Selatan turun tipis 0,07%.
Sementara untuk pasar saham Hong Kong pada hari ini tidak dibuka karena sedang libur memperingati Hari Chung Yeung.
Data inflasi akan menjadi perhatian pelaku pasar di Asia-Pasifik pada pekan ini. Pada hari ini, inflasi Singapura periode September akan dirilis. Sedangkan pada Selasa, inflasi Australia periode September 2023 akan dirilis pada Rabu pekan ini.
Di lain sisi, bursa Asia-Pasifik yang cenderung melemah terjadi di tengah merananya bursa saham Amerika Serikat (AS), Wall Street pada perdagangan akhir pekan lalu.
Pada perdagangan Jumat pekan lalu, indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) ditutupmelemah 0,86%, S&P 500 ambles 1,26%, dan Nasdaq Composite berakhir ambruk 1,53%.
Ada tarikan dengan investor pesimis yang menjual saham dengan mereka yang mencari saham murah.
Mengutip Reuters, indeks volatilitas Cboe (VIX), ukuran kegelisahan investor yang paling diawasi di Wall Street, pada Jumat pekan laluberada di level tertinggi dalam hampir tujuh bulan. Ini menandakan bahwa pelaku pasar sedang khawatir dan cenderung memasang mode wait and see.
Di lain sisi, imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS (US Treasury) saat ini menuju penurunan tahunan ketiga berturut-turut yang belum pernah terjadi sebelumnya, dengan yield Treasury tenor 10 tahun bergerak berbanding terbalik dengan harga obligasi berada pada level tertinggi sejak 2007.
Sektor-sektor defensif indeks telah terpukul tahun ini, dengan sektor utilitas turun sekitar 18%, kebutuhan pokok konsumen turun hampir 9% dan layanan kesehatan turun sekitar 6%, sebagian karena yield Treasury yang lebih tinggi telah mengurangi daya tariknya.
Hal ini membuat investor menjadi moderat dengan memilih aset-aset safe-haven tradisional seperti dolar AS dan emas, serta utang jangka pendek.
Meningkatnya yield obligasi telah mengurangi selera risiko pelaku pasar, meningkatkan biaya modal bagi perusahaan, dan menawarkan persaingan investasi pada saham.
Selain itu, ketidakpastian seputar kebijakan suku bunga bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) membuat investor semakin khawatir.
Ketua The Fed, Jerome Powell pada Kamis pekan lalu mengatakan perekonomian AS yang lebih kuat dari perkiraan mungkin memerlukan kebijakan yang lebih ketat.
Tak hanya itu, kekhawatiran bahwa konflik di Timur Tengah bakal meluas membuat para investor semakin cemas.
Investor masih memiliki beberapa lindung nilai portofolio. Harga emas telah melonjak 8% sejak konflik antara Israel dan Hamas pecah bulan ini.
Beberapa memilih ke Treasury jangka pendek atau pasar uang, yang memberikan imbal hasil lebih menarik sejak suku bunga mulai naik awal tahun lalu.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(chd/chd)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Bursa Asia Dibuka Gak Kompak Lagi, Gegara Minim Sentimen?
