Jangan Panik Dolar ke Rp16.000, RI Tak Akan Sampai Krisis!

Rosseno Aji Nugroho, CNBC Indonesia
Senin, 23/10/2023 06:55 WIB
Foto: Penukaran uang dolar (AS) dan rupiah di Valuta Inti Prima (VIP) Money Changer, Menteng, Jakarta, Rabu (11/10/2023). (CNBC Indonesia/ Faisal Rahman)

Jakarta, CNBC Indonesia - Ekonom senior Chatib Basri menilai publik tidak perlu panik dengan nilai tukar Rupiah yang belakangan ini melemah terhadap dolar Amerika Serikat (AS).

Menurut Chatib, melemahnya Rupiah tidak serta merta menunjukkan bahwa Indonesia akan mengalami krisis finansial.

"Kalau kamu nanya apakah kita krisis, tidak-lah," kata Chatib Basri dalam wawancara khusus dengan CNBC Indonesia, dikutip pada Senin, (23/10/2023).


Mantan Menteri Keuangan ini menuturkan di tengah ketidakpastian dunia, ekonomi Indonesia sebenarnya relatif bagus. Dia mengatakan ekonomi Indonesia diprediksi bakal tumbuh 5% tahun depan, lebih tinggi dari prediksi pertumbuhan ekonomi global di angka 2,9-3%. Inflasi Indonesia, kata dia, juga relatif rendah.

Meski demikian, dia mengakui masih ada trauma terhadap krisis finansial Asia 1998. Krisis 1998 tersebut membuat kurs rupiah merosot hingga 185%. Anjloknya kurs rupiah membuat inflasi Indonesia melonjak hingga 77% sementara ekonomi terkontraksi 13,7% lebih.

Chatib menilai krisis inilah yang membuat orang menjadi trauma, terlebih jika melihat kurs Rupiah terus mengalami pelemahan seperti sekarang ini. Chatib menceritakan pada tahun 2013 - ketika taper tantrum terjadi - dirinya pernah ditanya oleh Gubernur Bank Central Meksiko: 'mengapa Indonesia tetap melakukan intervensi terhadap nilai tukar Rupiah?'.

"Saya bilang enggak bisa, kalau di Indonesia itu dilakukan mesti dibimbing, kalau dilakukan orang akan panik dan dikiranya akan kembali ke 1998," kata dia.

Padahal, kata dia, banyak orang tidak sadar ketika taper tantrum terjadi kurs rupiah sudah merosot hingga 15%. Dia mengatakan kendati nilai rupiah sudah terdepresiasi dalam saat taper tantrum, Indonesia tidak mengalami krisis.

"Masalahnya selalu persepsi, persepsi yang repot itu adalah kalau orang menganggap krisis," kata dia.

Dia mengatakan anehnya trauma terhadap pelemahan nilai tukar Rupiah itu tidak hanya dialami oleh orang Indonesia. Tetapi, juga oleh investor asing yang ingin berinvestasi di Indonesia.

"Mereka sering tanya ke saya ini bakal Asian Financial Crisis tidak? Saya heran, enggaklah, ini negara oke kok," kata dia.

"Jadi kalau ditanya ada potensi krisis atau tidak, harusnya sih tidak," kata Chatib Basri melanjutkan.

Dia mengatakan proyeksi nilai tukar Rupiah khususnya NDF (Non Deliverable Forward) sampai 12 bulan ke depan pun tidak sampai ke level Rp 16.000. Menurut dia, kalaupun Rupiah sampai ke level Rp 16.000, ekonomi Indonesia juga akan tetap baik-baik saja. "Kalau Rp 16.000 tidak apa-apa juga kan, jangan lupa loh kita beberapa waktu lalu sempat di atas itu," kata dia.

Dibayangi The Fed

Rupiah tengah terpuruk terhadap dolar Amerika Serikat (AS) dipicu oleh selisih suku bunga di AS dan pasokan dolar di Indonesia yang tipis. Pada perdagangan (19/10/2023) rupiah sempat menyentuh titik terlemahnya di angka Rp 15.853. Pelemahan rupiah yang terjadi terus menerus ini direspons Bank Indonesia dengan menaikan suku bunga acuan ke level 6% pekan lalu.

Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede menuturkan kenaikan suku bunga acuan yang dilakukan BI akan mampu menjaga daya tarik investasi aset dalam bentuk Rupiah di tengah ketidakpastian global. Dia mengatakan indikator global yang sangat perlu diantisipasi adalah keputusan Federal Reserve pada pertemuan awal November ini.

"Jika tone dari stance the Fed masih cenderung hawkish maka tekanan pada Rupiah dapat terus berlanjut. Namun, jika cenderung dovish dan the Fed menyatakan ruang pemangkasan suku bunga terbuka tahun depan, kami memprediksi Rupiah akan mampu menguat ke kisaran 15.400-15.600 pada akhir tahun 2023," kata Josua.

Kepala Ekonom PT Bank Mandiri Tbk. Andry Asmoro menilai volatilitas pasar mungkin akan tetap tinggi dalam jangka pendek di tengah kekhawatiran terhadap perlambatan ekonomi global, kenaikan suku bunga jangka panjang dan ketegangan geopolitik yang sedang berlangsung di Timur Tengah.

Andry mengungkapkan pasar tengah menanti Rapat FOMC The Fed pada tanggal 23 November. Konsensus pasar secara umum memperkirakan FFR tidak akan berubah, namun mengisyaratkan kemungkinan kenaikan suku bunga pada akhir tahun.

"Pasar juga memperkirakan penurunan suku bunga bisa terjadi pada semester kedua tahun depan," kata Andry.

Dari sisi domestik, Andry melihat laju inflasi Indonesia menurun dan konsisten berada dalam kisaran sasaran 2 - 4%. "Oleh karena itu, menurut kami, fokus utama BI saat ini adalah pada mata uang," tambahnya.

Ke depannya, Andry berpendapat bahwa suku bunga yang berlaku saat ini akan cukup untuk mempertahankan daya tarik aset Rupiah dan menarik aliran modal.

Namun, dia mengungkapkan hal ini masih akan bergantung terutama pada kebijakan moneter The Fed dan perkembangan risiko geopolitik terkini, khususnya pada eskalasi konflik antara Israel dan Hamas.


(haa/haa)
Saksikan video di bawah ini:

Video: BI Rate Berpotensi Turun Lagi, Sinyal Pemangkasan Muncul