Tujuh Minggu Beruntun Rupiah Melemah, BI Akhirnya Beraksi
Jakarta, CNBC Indonesia - Rupiah pada pekan ini tercatat mengalami pelemahan secara signifikan terhadap dolar Amerika Serikat (AS).
Melansir dari Refinitiv pada pekan ini, rupiah melemah 1,21% secara point-to-point (ptp) di hadapan dolar AS atau melemah tujuh minggu beruntun secara mingguan. Sedangkan pada penuputan perdagangan Jumat (20/10/2023), rupiah terpantau merosot ke angka Rp15.870/US$ atau terdepresiasi sebesar 0,38%.
Pelemahan mata uang Garuda terjadi akibat berbagai faktor baik luar maupun dalam negeri.
Dari AS, terlihat Ketua bank sentral AS (The Fed) Jerome Powell menegaskan bahwa pertemuan November ini akan menahan suku bunganya di angka 5,25-5,50%. Sementara di pertemuan Desember mendatang, masih ada potensi The Fed untuk menaikkan suku bunganya sebesar 25 basis poin (bps).
Ditambah sikap higher for longer untuk suku bunga di AS ini membuat yield obligasi baik tenor pendek maupun tenor panjang menjadi semakin tinggi dan menarik bagi investor. Alhasil capital inflow ke AS memberikan tekanan bagi pasar keuangan negara lainnya seperti Indonesia sebagai emerging market.
US Treasury tenor 10 tahun dengan SBN tenor 10 tahun tercatat masih memiliki selisih yang cukup tipis yakni sekitar 224 bps. Apalagi dengan rating US Treasury yang jauh di atas Indonesia, maka investor akan cenderung berinvestasi ke negara maju seperti AS dengan risiko yang lebih kecil.
Hal ini pun terlihat dari data transaksi yang dirilis oleh Bank Indonesia (BI) untuk periode 16-19 Oktober 2023, nonresiden di pasar keuangan domestik tercatat jual neto Rp5,36 triliun terdiri dari jual neto Rp3,45 triliun di pasar SBN, jual neto Rp3,01 triliun di pasar saham, dan beli neto Rp1,10 triliun di SRBI.
Selain itu, di awal pekan ini juga telah dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) perihal neraca dagang beserta ekspor dan impor Indonesia. Tercatat neraca dagang masih surplus bahkan lebih tinggi dibandingkan periode sebelumnya, namun impor Indonesia masih cukup rendah yang berarti masyarakat masih cenderung memilih untuk mengurangi belanja/konsumsinya sehingga berpotensi membuat perekonomian Indonesia sulit bertumbuh.
Hal ini semakin diperparah dengan data pertumbuhan ekonomi China dengan perekonomian terbesar di China serta memiliki korelasi erat dengan ekspor impor terhadap Indonesia yang tercatat berada di bawah target pemerintah.
Berdasarkan data yang dirilis Biro Statistik Nasional China, Rabu (18/10/2023), pertumbuhan ekonomi China lebih rendah dibandingkan dengan kuartal II/2023 sebesar 6,3% (year on year/yoy) yakni di angka 4,9% yoy pada kuartal-III 2023.
Kendati di atas ekspektasi, namun Produk Domestik Bruto (PDB) China tersebut masih di bawah target China yakni 5%. Alhasil sebagai negara dengan tujuan utama ekspor Indonesia, perlambatan di China memberikan dampak juga kepada pasar keuangan domestik.
Dengan melihat tekanan pada rupiah yang kian terus terjadi, Bank Indonesia (BI) pada Kamis (19/10/2023) pada akhirnya menaikkan suku bunganya untuk kedua kalinya di tahun 2023 sebesar 25 bps menjadi 6%.
Bukan hanya menaikkan suku bunga acuan, BI juga akan merilis instrumen investasi baru di pertengahan November 2023 yakni Sekuritas Valas Bank Indonesia (SVBI) dan Sukuk Valas Bank Indonesia (SUVBI). Hal ini ditujukan agar dapat menarik modal asing ke Indonesia yang pro market selain Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) dan tekanan terhadap nilai tukar rupiah dapat teratasi dan lebih stabil ke depannya.
CNBC INDONESIA RESEARCH
research@cnbcindonesia.com
(rev/rev)