Rupiah Anjlok Bukan Salah RI, Siapa Harus Tanggung Jawab?

mij, CNBC Indonesia
Jumat, 06/10/2023 10:40 WIB
Foto: Ilustrasi Rupiah Melemah (CNBC Indonesia/ Edward Ricardo)

Jakarta, CNBC Indonesia - Tren pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) masih berlanjut hingga saat ini. Meski demikian, patut dipahami bahwa situasi yang menyebabkan anjloknya rupiah hingga ke level 15.600/US$ bukan dari dalam negeri.

"Fundamental sih level segini gak menggambarkan fundamental, karena ekonomi Indonesia sangat baik, trade balance, CAD (current account deficit) masih oke. Jadi sebenarnya menurut saya Indonesia masih sangat baik," ungkap Christopher Andre Benas Head of Research BCA Sekuritas dalam program Closing Bell CNBC Indonesia, dikutip Jumat (6/10/2023)


Menurut Andre masalah pelemahan nilai tukar rupiah berasal dari Amerika Serikat (AS). Situasi negeri Paman Sam tersebut masih akan membuat Bank Sentral AS Federal Reserve (Fed) menaikkan suku bunga acuan. Ekspektasi kenaikan suku bunga The Fed semakin kencang setelah data menunjukkan pasar tenaga kerja AS masih kencang. The Fed juga mengisyaratkan kenaikan pada pertemuan bulan lalu.

Alhasil, indeks dolar AS (DXY) pun turut merespon dengan mengalami penguatan belakangan ini yang berujung tertekannya mata uang Garuda. Indeks dolar AS (DXY) pada Jumat (6/10/2023) pukul 08.55 WIB, berada di posisi 106,41 atau naik 0,08% jika dibandingkan penutupan perdagangan Kamis (5/10/2023) yang berada di posisi 106,33.

Sebagai catatan, perangkat CME FedWatch menunjukkan 20,4% pelaku pasar meyakini terjadinya kenaikan suku bunga sebesar 25 basis poin (bps) pada Federal Open Market Committee (FOMC) November mendatang. Sementara 33% pelaku pasar meyakini kenaikan tersebut terjadi di bulan Desember 2023.

Imbal hasil US Treasury tenor 10 tahun terbang ke level tertingginya dalam 16 tahun terakhir. Imbal hasil US Treasury 10 tahun (US10YT=RR) naik 6,9 basis poin (bps) menjadi 4,8% pada Selasa (3/10/2023). Level tersebut adalah yang tertinggi sejak awal Agustus 2007 atau tepat sebelum krisis keuangan global.

Dilansir dari Refinitiv, rupiah dibuka pagi ini di angka Rp15.615/US$ atau melemah 0,03% terhadap dolar AS.

"Jadi ini faktor eksternal, internal gak ada yang mencemaskan. Menurut saya ekonomi di Indonesia di makro ekonomi masih solid ya," ujarnya.

Atas situasi ini, Andre memperkirakan rupiah masih akan tertekan ke depan. Ada potensi dolar akan menyentuh level Rp16.000, namun kembali turun dan mencapai Rp15.500 di akhir tahun. "Gak menutup kemungkinan bisa ke Rp16.000/US$ dan terus turun lagi," kata Andre.

Hal yang senada diungkapkan oleh Ralph Birger Portiray Head of Treasury & Financial Institution Bank Mega. Dia menambahkan hampir seluruh mata uang dunia bertekuk lutut terhadap dolar AS. Bahkan dilihat dari pergerakan awal tahun, level rupiah sekarang masih cukup wajar.

"Walaupun rupiah ada depresiasi cukup signifikan, tetapi depreasiasi itu masih dalam tahap yang wajar, karena performance rupiah masih dalam range yang diperkirakan. Rp15.600/US$ bukan sesuatu yang aneh," terang Ralph dalam kesempatan yang sama.

Ke depan yang patut dicermati adalah rilis data-data dari AS. Ralph memperkirakan rupiah masih akan melemah ke depan, akan tetapi dirinya tidak melihat akan menyentuh level Rp16.000/US$.

Menanggapi kondisi saat ini, Kepala Departemen Pengelolaan Moneter Bank Indonesia (BI) Edi Susianto mengatakan bahwa Bank Indonesia (BI) akan terus mengawal rupiah di pasar dan BI turun ke pasar untuk membeli SBN guna memberikan sentimen positif ke pasar. Ia pun menegaskan bahwa BI akan masuk di pasar spot dan DNDF tetap dilakukan.

BI masih melihat fundamental ekonomi Indonesia relatif kuat dengan pertumbuhan ekonomi di atas 5% dalam 7 kuartal beruntun. Padahal, negara-negara lain mulai mengalami tekanan. Hal ini menjadi salah satu kepercayaan bagi BI terhadap pergerakan stabilitas nilai tukar


(mij/mij)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Prabowo Kocok Ulang Anggaran, Dana Investor Jumbo Lari Kemana?