Bursa Asia Rontok Lagi, Gegara Yield Treasury AS Melonjak?

Chandra Dwi Pranata, CNBC Indonesia
04 October 2023 08:46
Investors look at computer screens showing stock information at a brokerage house in Shanghai, China September 7, 2018. REUTERS/Aly Song
Foto: Bursa China (Reuters/Aly Song)

Jakarta, CNBC Indonesia - Bursa Asia-Pasifik dibuka kembali berjatuhan pada perdagangan Rabu (4/10/2023), karena investor cenderung khawatir dengan terus naiknya imbal hasil (yield) obligasi pemerintah Amerika Serikat (AS).

Per pukul 08:30 WIB, indeks Nikkei 225 Jepang ambruk 1,69%, Hang Seng Hong Kong melemah 0,71%, Straits Times Singapura ambles 1,16%, ASX 200 Australia terkoreksi 0,74%, dan KOSPI Korea Selatan anjlok 2,22%.

Sementara untuk pasar saham China pada pekan ini libur dalam rangka Golden Week.

Bursa Asia-Pasifik yang cenderung kembali berjatuhan terjadi di tengah ambruknya bursa saham Amerika Serikat (AS), Wall Street pada perdagangan kemarin.

Indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) ditutup ambles 1,29%, S&P 500 ambrol 1,37%, dan Nasdaq Composite ambruk 1,87%.

Kenaikan yield obligasi pemerintah AS (US treasury) kembali menjadi kekhawatiran pasar dan membuat pasar saham global kembali terpuruk.

Yield treasury acuan tenor 10 tahun naik 19 basis poin (bp) ke posisi 4,821%, nyaris menyentuh 5% dan menjadi yang tertinggi sejak 2007 silam.

Masih melonjaknya yield treasury terjadi karena prospek era suku bunga tinggi sepertinya belum akan berakhir dalam waktu dekat, membuat pasar semakin khawatir.

Inventor kini memprediksi suku bunga dapat lebih tinggi untuk jangka waktu yang lebih lama. Biaya pinjaman yang lebih tinggi berdampak negatif bagi dunia usaha dan konsumen.

Menurut Presiden The Fed Atlanta, Raphael Bostic mengatakan tidak ada urgensi bagi bank sentral untuk menaikkan suku bunga kebijakannya lagi, namun kemungkinan akan memakan waktu yang lama sebelum penurunan suku bunga dianggap tepat.

Sedangkan menurut Presiden The Fed Cleveland, Loretta Mester mengatakan dia terbuka untuk menaikkan suku bunga lagi, kemungkinan pada pertemuan bank berikutnya.

Sementara itu, ekspektasi pasar mengenai kebijakan ketat The Fed semakin kencang. Perangkat FedWatch Tool menunjukkan sekitar 30,9% pelaku pasar memperkirakan adanya kenaikan suku bunga acuan sebesar 25 bp pada November mendatang. Angka ini lebih besar dibandingkan pekan lalu yang hanya 14%.

Di lain sisi, data menunjukkan lowongan pekerjaan di AS secara tak terduga meningkat pada bulan Agustus, memicu kekhawatiran tentang ketatnya pasar tenaga kerja menjelang laporan utama pekerjaan bulanan AS pada Jumat pekan ini.

Jika data tenaga kerja Negeri Paman Sam masih cukup kuat, maka The Fed berpotensi belum akan merubah sikapnya menjadi dovish.

Apalagi, jika inflasi AS di bulan-bulan berikutnya masih jauh dari target yang ditetapkan The Fed di 2%, maka The Fed juga akan 'kekeuh' mempertahankan sikap hawkish-nya.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

Sanggahan: Artikel ini adalah produk jurnalistik berupa pandangan CNBC Indonesia Research. Analisis ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli, menahan, atau menjual produk atau sektor investasi terkait. Keputusan sepenuhnya ada pada diri pembaca, sehingga kami tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan tersebut.


(chd/chd)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Investor Masih Lakukan Aksi Profit Taking, Bursa Asia Lesu Lagi

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular