Karena Risiko Ini, OJK Minta Bank Pertebal Pencadangan
Jakarta, CNBC Indonesia - Kondisi industri perbankan RI saat ini terbilang terjaga dan kuat. Ini tercermin dari kualitas kredit yang terjaga, yakni rasio kredit bermasalah atau non performing loan (NPL) gross stabil sebesar 2,51% dan rasio kredit berisiko atau loan at risk (LAR) juga telah turun sepanjang tahun ini, menjadi 12,59%, menurut Otoritas Jasa Keuangan (OJK) per Juli 2023.
Meskipun begitu, OJK meminta perbankan untuk memperkuat pencadangan (CKPN) seiring dengan potensi risiko selama periode suku bunga yang relatif tinggi. Padahal, rasio kecukupan modal atau capital adequacy ratio (CAR) industri perbankan juga terbilang kuat di tingkat 27,46%.
Wakil Ketua Dewan Komisioner (DK) OJK Mirza Adityaswara membenarkan bahwa permodalan dan likuiditas perbankan saat ini memadai. Namun, latar belakang dari arah kebijakan tersebut adalah untuk mencegah risiko dari sisa-sisa NPL dan LAR selama pandemi Covid-19.
"Sisa-sisa dari NPL dan LAR gara-gara Covid itu kemudian memburuk lagi bisa saja kaena ekonomi dan sebagainya. Maka, bank itu harus punya pencadangan yang cukup. Dan pencadangan itu dipupuk saat bank menerima laba. Sebagian dari laba itu kemudian dicadangkan menjadi CKPN," ujar Mirza pada Money Talks CNBC Indonesia, Selasa (12/9/2023).
Ia mengungkapkan CKPN perbankan secara umum per Juli 2023 berada di tingkat 5,2%. Besaran itu memang lebih dari cukup untuk tingkat NPL yang sebesar 2,51% tadi.
Tapi secara total, mayoritas kredit bermasalah sisa pandemi Covid-19 bisa pulih. Tetapi, kata Mirza, ada sebagian yang tidak bisa pulih.
"Jadi yang tidak bisa recover ini, ya kami minta untuk CKPN-nya ditingkatkan. Saat ini CKPN untuk kredit restrukturisasi Covid-19 itu 29,7%. Kalau ini bisa ditingkatkan, maka itu akan lebih baik untuk ketahanan sektor perbankan," pungkasnya.
Sebelumnya, pengamat perbankan Lando Simatupang menilai kebijakan ini ihwal industri perbankan harus siap dengan perubahan situasi.
"OJK sebagai regulator tentu perlu mengingatkan hal tersebut, karena potensi krisis pangan (nego gandum Rusia dengan negara lain belum selesai), potensi kredit macet (Cina dengan pengembang terbesar)," terang Lando saat dihubungi CNBC Indonesia, Kamis (7/9/2023).
Ia juga menyorot data statistik yang menunjukkan bahwa tingkat CAR dari bank berukuran besar, yakni KBMI 3 dan 4, hanya sekitar 22%. Sementara untuk bank berukuran menengah dan kecil, yakni ada KBMI 1 dan 2, tingkat CAR-nya jauh di atas 25%.
"Beberapa bank di KBMI 4 ada yang Domestic Systemically Important Bank (DSIB), sehingga mereka lebih rentan yang bisa mempengaruhi industri," pungkas Lando.
Maka dari itu, ia mengatakan OJK sebagai regulator perlu menyampaikan "pesan positif" ini kepada industri dan perekonomian. Sehingga bank sebagai pribadi menyiapkan diri dan membuat penyesuaian yang perlu dengan memperhatikan kondisi global dan domestik tersebut.
"Dengan kenaikan suku bunga dan harga pangan, ada potensi kualitas aset dan LAR dan NPL meningkat, tetapi dengan kesiapan pencadangan yang baik, maka industri stabil," ujarnya.
(fsd/fsd)