Jelang Rilis Data Inflasi AS, Mampukah Rupiah Menguat?
Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Tanah Air nampaknya masih bisa bergejolak sejalan dengan penantian inflasi bank sentral Amerika Serikat (AS) The Federal Reserve (The Fed) yang makin dekat.
Melansir data Refinitiv, nilai tukar rupiah pada perdagangan kemarin (11/9/2023) ditutup stagnan atau tidak ada pergerakan dibandingkan hari sebelumnya, masih di posisi Rp15.320 per dolar AS.
Pergerakan yang cenderung stagnan menunjukkan respon pasar keuangan yang tak terlalu merespon rilis data dari dalam negeri yaitu penjualan ritel Indonesia yang meningkat sebesar 1,6% (year on year/yoy) pada bulan Juli 2023.
Pasalnya, walaupun penjualan ritel tumbuh nilainya sangat jauh lebih rendah dibandingkan pertumbuhan bulan sebelumnya yang bisa mencapai 7,9% yoy. Perlu diketahui, Juli tak ada hari raya sehingga penjualan ritel yang tumbuh melambat merefleksikan daya beli masyarakat belum terlalu atraktif di kondisi ekonomi normal.
Selain itu, cadangan devisa (cadev) Indonesia untuk periode Agustus 2023 masih mengalami penurunan, sehingga belum bisa menopang pergerakan rupiah karena efek DHE belum terlalu terasa pasca pengetatan kebijakan diterapkan sejak bulan lalu. Sebagai catatan, Bank Indonesia (BI) melaporkan bahwa cadev per Agustus tercatat US$137,1 miliar atau turun US$0,6 miliar dibandingkan periode sebelumnya
Beralih ke eksternal, ada sentimen datang dari penantian pasar akan rilis data inflasi AS yang potensi menahan laju pergerakan mata uang Garuda.
Data Inflasi AS untuk periode Agustus 2023 dijadwalkan rilis pada Rabu (13/9/2023) pukul 19.30 WIB. Melansir platform penghimpun data, trading economic inflasi umum AS diperkirakan akan melonjak ke 3,6% secara tahunan (year-on-year/yoy) dari bulan sebelumnya sebesar 3,2% yoy.
Apabila inflasi umum naik sesuai perkiraan ini bakal menjadi kenaikan kedua yang terjadi setelah mencapai titik terendah 3% yoy pada Juni lalu.
Sementara dari inflasi inti diperkirakan akan melandai ke 4,3% yoy dibandingkan bulan sebelumnya sebesar 4,7% yoy. Kendati melandai, secara keseluruhan nilai
inflasi umum dan inti masih jauh dari target bank sentral AS The Federal Reserve (The Fed) di sekitar 2%.
Bagai pedang bermata dua, ketika inflasi naik sikap bank sentral AS pada pertemuan pekan ketiga bulan ini potensi bisa lebih ketat atau menaikkan suku bunga lagi. Sebaliknya, jika kembali melandai ada potensi sikap The Fed bisa lebih melunak.
Teknikal Rupiah
Dalam basis waktu satu jam, mata uang Garuda dalam melawan dolar AS mulai bergerak dalam tren sideways setelah beberapa hari melemah. Posisi penutupan kemarin pada Rp15.320/US$ bertepatan dengan garis rata-rata selama 50 jam atau moving average 50 (MA50).
Posisi MA50 menjadi krusial, pasalnya apabila berbalik arah ke atas lagi bisa terjadi pelemahan lebih lanjut ke resistance terdekat di Rp15.350/US$ yang bertepatan dengan garis horizontal berdasarkan high candle pada 15 Agustus 2023.
Di lain sisi, apabila MA50 bisa ditembus ke bawah akan ada potensi penguatan rupiah. Oleh karena itu, bisa dicermati support yang potensi diuji yaitu level psikologis Rp15.300/US$, apabila di bisa dicapai penguatan lanjutan ke Rp15.290/US$ yang bertepatan horizontal line berdasarkan low candle 6 September 2023 dan garis MA100-nya.
CNBC INDONESIA RESEARCH
research@cnbcindonesia.com
Sanggahan : Artikel ini adalah produk jurnalistik berupa pandangan CNBC Indonesia Research. Analisis ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli, menahan, atau menjual produk atau sektor investor terkait. Keputusan sepenuhnya ada pada diri pembaca, sehingga kami tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbal dari keputusan tersebut.
(tsn/tsn)