Was-Was Menunggu Data Cadev & Kabar dari China, Rupiah Loyo
Jakarta, CNBC Indonesia - Rupiah melemah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) setelah data ekonomi AS menunjukkan potensi kenaikan suku bunga dan sikap wait and see pasar perihal data cadangan devisa (cadev).
Dilansir dari Refinitiv, rupiah dibuka melemah 0,19% terhadap dolar AS di angka Rp15.320/US$ pada Kamis (7/9/2023). Posisi ini menjadi yang terlemah sejak 22 Agustus 2023.
Sementara indeks dolar AS (DXY) mengalami depresiasi di angka 104,82 atau turun dari hari kemarin yang ditutup di angka 104,84.
Pergerakan rupiah hari ini akan dibayangi rilis data cadev serta sentimen global baik dari komoditas (minyak) maupun data ekonomi AS yang berada di atas ekspektasi pasar.
Bank Indonesia (BI) akan merilis data cadangan devisa (cadev) per akhir Agustus 2023 pada hari ini. Sebagai catatan, posisi cadev pada akhir Juli 2023 tercatat sebesar US$ 137,7 miliar, meningkat tipis dibandingkan dengan posisi per akhir Juni 2023 sebesar US$ 137,5 miliar.
Pelaku pasar menunggu apakah cadev akan meningkat setelah pemberlakuan aturan baru mengenai devisa hasil ekspor sumber daya alam (DHE SDA). Pemerintah memperkirakan aturan tersebut akan mampu meningkatkan cadev sebesar US$ 60-100 miliar.
Pergerakan rupiah juga akan dibayangi sentimen dari AS. Amerika Serikat, kemarin (6/9/2023), tercatat data ekonomi AS yakni ISM Services PMI yang mengukur aktivitas bisnis non-manufaktur melonjak ke 54,5 pada Agustus. Angka tersebut lebih tinggi dibandingkan 52,7 pada Juli serta di atas ekspektasi pasar yakni 52,5.
Selain itu ISM Services Prices juga naik menjadi 58,9 pada Agustus dari 56,8 pada Juli. Artinya, ongkos biaya pada Agustus meningkat cukup signifikan.
Data ISM Service yang masih kencang bisa menjadi kabar buruk bagi pasar Indonesia. Dengan ekonomi AS yang masih kencang dan ekspektasi kebijakan The Fed yang hawkish maka investor asing bisa meninggalkan pasar keuangan Tanah Air sehingga menciptakan capital outflow, terutama di pasar mata uang dan SBN.
ISM Services yang menguat juga menandai ekonomi AS masih kencang sehingga inflasi bisa sulit ditekan ke depan.
Kondisi ini membuat pelaku pasar berekspektasi jika bank sentral AS The Federal Reserve (The Fed) akan mempertahankan sikap hawkishnya.
Untuk diketahui, perangkat CME Fedwatch per 6 September 2023 pukul 8.10 CT menunjukkan 92% investor yakin The Fed akan menahan suku bunga acuan di 5,25%-5,5% dalam pertemuan September. Sebanyak 8% memperkirakan adanya kenaikan suku bunga sebesar 25 bps.
"Data ISM menegaskan kekhawatiran pasar mengenai pelaku pasar selama berminggu-minggu ini. Imbal hasil yang tinggi membuat saham kurang menarik. ISM juga akan menekan The Fed untuk hawkish," tutur Adam Crisafulli, analis dari Vital Knowledge dikutip dari CNBC International.
Lonjakan harga minyak dunia (brent) yang menyentuh level US$90 per barel juga berdampak pada fluktuasi rupiah.
Harga minyak dunia melonjak ke level US$90 per barel pada perdagangan kemarin. Ini adalah kali pertama minyak brent menyentuh tersebut sejak 16 November 2022 atau hampir 10 bulan terakhir.
Harga minyak melonjak setelah Arab Saudi memangkas produksi sebesar 1 juta barel per day (bpd) secara sukarela hingga akhir tahun ini. Pemangkasan tersebut akan mengurangi produksi minyak hingga 9 juta bpd pada Oktober, November, dan Desember.
Rusia juga akan memperpanjang pemangkasan sukarela sebesar 300.000 hingga Desember 2023.
Bagi Indonesia, lonjakan harga minyak juga menjadi kabar buruk karena akan membebani impor. Indonesia adalah net importir minyak sehingga kenaikan harga minyak akan langsung membuat nilai impor bengkak. Artinya, ada kebutuhan dolar AS yang meningkat. Hal ini membuat dolar AS kembali naik dan rupiah tertekan.
Lonjakan harga minyak juga bisa membebani anggaran karena subsidi BBM semakin membengkak.
Disamping data-data tersebut, pada hari ini pasar perlu mencermati data neraca dagang serta ekspor-impor dari China mengingat China adalah negara tujuan ekspor terbesar bagi Indonesia dengan kontribusi sekitar 24-25% sehingga perkembangan di Tiongkok akan sangat mempengaruhi Indonesia.
Jika impor China kembali terkontraksi maka hal tersebut harus menjadi warning bagi permintaan Tiongkok untuk produk Indonesia. Ekspor ke China pun bisa turun lebih tajam.
CNBC INDONESIA RESEARCH
research@cnbcindonesia.com
(rev/rev)