Mampukah Cadev Dorong Penguatan Rupiah Hari Ini?

Tasya Natalia, CNBC Indonesia
Kamis, 07/09/2023 08:32 WIB
Foto: Muhammad Luthfi Rahman

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah dalam menghadapi dolar Amerika Serikat (AS) nampaknya akan diwarnai berbagai sentimen, dari dalam negeri terutama dari cadangan devisa yang diharapkan masih bisa menopang di tengah ketidakpastian eksternal.

Melansir data Refinitiv, mata uang Garuda melemah 0,19% ke posisi Rp15.290 per dolar AS pada akhir perdagangan kemarin, Rabu (6/9/2023). Posisi tersebut menjadi yang terlemah selama delapan hari perdagangan terakhir atau sejak 25 Agustus 2023.

Rupiah kemarin bahkan sempat terseret ke level Rp 15.300/US$ di awal perdagangan. Pelemahan rupiah kemarin disinyalir karena lonjakan harga minyak yang diperkirakan bisa mengerek inflasi AS sehingga kebijakan suku bunga masih ketat ke depan.


Kendati demikian, dari dalam negeri akan ada rilis data cadangan devisa pada hari ini oleh Bank Indonesia (BI) yang diharapkan bisa menjadi penopang laju rupiah.
Bank Indonesia (BI) akan mengumumkan data cadev per akhir Agustus 2023.

Sebagai catatan, posisi cadev pada akhir Juli 2023 tercatat sebesar US$ 137,7 miliar, meningkat tipis dibandingkan dengan posisi per akhir Juni 2023 sebesar US$ 137,5 miliar.

Menarik ditunggu apakah cadev akan meningkat setelah pemberlakuan aturan baru mengenai devisa hasil ekspor sumber daya alam (DHE SDA).

Mulai 1 Agustus 2024, pemerintah telah mewajibkan eksportir untuk menyimpan paling sedikit 30% dengan jangka waktu minimal tiga bulan.
Pemerintah memperkirakan aturan tersebut akan mampu meningkatkan cadev sebesar US$ 60-100 miliar.

Di lain sisi, perhelatan KTT ASEAN akan resmi berakhir pada hari ini. Ada tiga agenda penting yang digelar hari ini yakni ASEAN- India Summit ke 20, East Asia Summit, ASEAN- Australia Summit ke-3, dan ASEAN- UN Summit. Presiden Joko Widodo akan menggelar konferensi pers terkait hasil KTT ASEAN ke-43 pada sore hari ini.

Akan hadir dalam East Asia Summit perwakilan dari 18 negara anggota di wilayah Asia Timur yakni 10 anggota ASEAN serta Australia, China, India, Jepang, Selandia Baru, Korea Selatan, Rusia, dan Ukraina .

Beralih ke eksternal, sejumlah data dari AS dan China menjadi satu hal yang diwaspadai terutama ketika berhubungan dengan kebijakan suku bunga bank sentral dan kondisi ekspor-impor.

Dari AS terlebih dahulu sempat ada rilis ISM Services PMI yang mengukur aktivitas bisnis non-manufaktur melonjak ke 54,5 pada Agustus. Angka tersebut lebih tinggi dibandingkan 52,7 pada Juli serta di atas ekspektasi pasar yakni 52,5.
ISM Services Prices juga naik menjadi 58,9 pada Agustus dari 56,8 pada Juli. Artinya, ongkos biaya pada Agustus meningkat cukup signifikan.

ISM Services yang menguat menandai ekonomi AS masih kencang sehingga inflasi bisa sulit ditekan ke depan. Kondisi ini membuat pelaku pasar berekspektasi jika bank sentral AS The Federal Reserve (The Fed) akan mempertahankan sikap hawkishnya.

Pada malam hari nanti, AS juga akan merilis data klaim pengangguran untuk pekan yang berakhir pada 2 September 2023. Jumlah pekerja AS yang mengajukan klaim pengangguran di AS pada pekan yang berakhir 26 Agustus mencapai 228.000.

Pelaku pasar berekspektasi jumlah klaim pengangguran akan naik menjadi 234.000 pada pekan lalu. Data klaim pengangguran menjadi salah satu cerminan dari pergerakan tenaga kerja AS.

Jika jumlah klaim pengangguran lebih tinggi dibandingkan ekspektasi maka hal itu menjadi kabar positif bagi pasar. Pasalnya, kondisi itu bisa mencerminkan pasar tenaga kerja AS mendingin sehingga The Fed bisa melunak. Namun, kondisi sebaliknya bisa membuat ekspektasi pasar terhadap suku bunga The Fed masih akan hawkish.

Sementara itu, China pada hari ini akan mengumumkan data neraca perdagangan untuk Agustus 2023. Ekspor China sudah terkontraksi selama tiga bulan beruntun sementara impor terkoreksi selama lima bulan beruntun.

China adalah tujuan ekspor terbesar bagi Indonesia dengan kontribusi sekitar 24-25% sehingga perkembangan di Tiongkok akan sangat mempengaruhi Indonesia.

Jika impor China kembali terkontraksi maka hal tersebut harus menjadi warning bagi permintaan Tiongkok untuk produk Indonesia. Ekspor ke China pun bisa turun lebih tajam.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat ekspor non-migas RI ke China pada Januari-Juli 223 mencapai US$ 34,86 miliar atau tumbuh 6%. Pertumbuhan tersebut jauh lebih rendah dibandingkan pada Januari-Juli 2022 sebesar 30%.

Teknikal Rupiah

Secara teknikal pergerakan rupiah dalam basis satu jam mulai menunjukan tren naik atau melemah, bahkan sempat menguji level psikologis Rp15.300/US$ menjadi posisi resistance atau target pelemahan mata uang Garuda yang perlu dicermati.

Di sisi lain untuk posisi support atau target penguatan jangka pendek bisa melihat Rp15.280/US$. Nilai ini nyaris bertepatan dengan garis rata-rata selama 20 jam atau moving average 20 (MA20).

Foto: Tradingview
Pergerakan rupiah melawan dolar AS

CNBC INDONESIA RESEARCH

research@cnbcindonesia.com  

Sanggahan: Artikel ini adalah produk jurnalistik berupa pandangan CNBC Indonesia Research. Analisis ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli, menahan, atau menjual produk atau sektor investasi terkait. Keputusan sepenuhnya ada pada diri pembaca, sehingga kami tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan tersebut.


(tsn/tsn)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Perang Bikin Rupiah Anjlok, Tembus Rp 16.400-an per Dolar AS