
Mengulas SRBI: 'Obat Kuat' Rupiah Saat Diterkam Monster Dolar

Jakarta, CNBC Indonesia - Kabar cukup mengejutkan datang dari Bank Indonesia (BI) hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) pada 23-24 Agustus 2023. Adalah instrumen baru bernama Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) yang dianggap mampu menarik minat investor asing dan stabilkan nilai tukar.
Kebijakan yang cukup jadi pertanyaan banyak pihak , meski ini baru akan diimplementasikan pada 15 September 2023.
Dalam konferensi pers, Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengumumkan SRBI adalah instrumen tambahan untuk menjaga stabilitas rupiah selain yang sudah ada, yaitu intervensi di pasar valas dengan fokus pada transaksi spot dan Domestic Non-Deliverable Forward (DNDF).
"Kita keluarkan SRBI, apa itu? SRBI itu kepanjangan adalah Sekuritas Rupiah BI. Kenapa disebut sekuritas karena ini sekuritisasi dari SBN yang dimiliki BI Rp 1.000 triliun," ungkapnya.
Asal Muasal
Latar belakang dari kebijakan ini adalah situasi global yang masih pernuh ketidakpastian. Terutama Amerika Serikat (AS), dengan proyeksi inflasi yang masih tinggi, Federal Reserve (the Fed) masih akan menaikkan suku bunga acuan.
China tak kalah heboh. Ekonominya diramal akan lebih rendah akibat keyakinan pelaku ekonomi yang melemah serta utang rumah tangga yang tinggi sehingga menurunkan konsumsi dan kinerja properti yang turun yang berdampak pada investasi.
Jepang ambil langkah pelonggaran moneter atau dikenal dengan nama dovish. Ekonomi Eropa semakin tak bisa diharapkan karena perang Rusia dan Ukraina belum juga tuntas hingga hari ini.
Hal ini mendorong penguatan dolar Amerika Serikat (AS) dan menekan mata uang banyak negara, termasuk rupiah. Nilai tukar Rupiah pada Agustus 2023 (sampai dengan 23 Agustus 2023) secara point-to-point melemah sebesar 1,41% dibandingkan dengan akhir Juli 2023.
Secara year-to-date, nilai tukar Rupiah menguat 1,78% dari level akhir Desember 2022, lebih baik dibandingkan dengan nilai tukar mata uang berkembang lainnya seperti Rupee India yang mengalami apresiasi sebesar 0,07%, serta Baht Thailand dan Peso Filipina yang masing-masing mengalami depresiasi sebesar 1,31% dan 1,77%.
"Seluruh dunia melemah nih, tapi pelemahan kita relatif rendah bahkan year to date masih menguat," ujarnya. Meski demikian, ketidakpastian masih akan berlanjut ke depan, sehingga langkah antisipatif perlu dijalankan.
"Bagaimana memitigasi kenaikan fed fund rate, intervensi di spot, memperbanyak instrument penempatan DHE SDA dan menerbitkan SRBI sebagai operasi moneter yang pro market," tegas Perry.
Senjata BI Jaga Rupiah, Termasuk SRBI
Sebelum SRBI, BI sebenarnya sudah memiliki beberapa instrumen. Antara lain Transaksi Reverse Repurchase Agreement (Reverse Repo) Surat Berharga Negara atau RR SBN yang tujuannya adalah untuk menyerap likuiditas.
RR SBN memiliki karakteristik berbasis transaksi repo dengan underlying atau agunan SBN milik BI. Tenor 1 hari sampai dengan 12 bulan. Sistem imbal hasil simple interest. Minimal nominal transaksi Rp1 miliar namun tidak dapat dipindahtangankan.
Kemudian Sertifikat Bank Indonesia (SBI) atau surat berharga yang dikeluarkan oleh BI dengan tujuan yang sama. Hanya karakteristiknya penerbitan surat berharga dengan sistem imbal hasil diskonto. Perbedaan lain adalah SBI bisa diperdagangkan.
Ada juga Sukuk Bank Indonesia atau disingkat SukBI yang tidak jauh berbeda, namun dijalankan dengan prinsip syariah. Imbal hasil dibayarkan pada waktu jatuh tempo.
Kini ada SRBI yang menurut BI tidak jauh berbeda dengan RR SBN namun bisa diperdagangkan. Tenor yang diberikan 6 bulan, 9 bulan dan 12 bulan. Sementara yield nantinya berdasarkan pasar namun tetap mengacu kepada suku bunga acuan.
"Nanti perbankan ikut lelang nanti apakah eksportir investor luar negeri, non residen boleh numpang ke perbankan untuk biding ke BI," paparnya.
Apa Dampaknya?
Kebijakan ini mampu mencapai tujuannya dengan beberapa catatan. Penyerapan likuiditas dengan biaya rendah bisa didapatkan asalkan imbal hasil yang diberikan lebih baik, setidaknya harus sama dengan RR SBN.
Artinya ada kemungkinan persaingan dengan SBN, sebab keduanya bisa diperdagangkan dan dibeli oleh pihak asing. Koordinasi dibutuhkan antara BI dan pemerintah agar tidak terjadi perebutan dana.
Instrumen SRBI juga dimungkinkan tidak akan mengurangi jumlah SBN yang dimiliki BI lebih dari Rp 1.000 triliun, hasil dari burden sharing ketika pandemi covid-19. Meskipun BI masih menjual untuk tenor pendek dengan harapkan ada kenaikan yield dan mendorong adanya dana masuk (inflow).
Kepala Ekonom PT Bank Mandiri Tbk Andry Asmoro berpandangan SRBI akan memberikan dampak positif terhadap pasar keuangan, khususnya menjaga stabilitas rupiah. Sebelumnya Andry memperkirakan dolar AS bisa di bawah Rp15.000 hingga 2024.
"Kami berpendapat bahwa instrumen deposito valuta asing untuk DHE dan SRBI akan memberikan dukungan yang cukup besar terhadap cadangan devisa sehingga menjamin stabilitas nilai tukar rupiah," jelasnya.
(mij/mij)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article BI Perkenalkan Instrumen Baru SRBI, Ini Penjelasannya!