Fed Rajin Kerek Suku Bunga, Ini Dampak ke Mata Uang Global

rev, CNBC Indonesia
27 July 2023 16:10
Ilustrasi Jerome Powell (CNBC Indonesia/ Edward Ricardo)
Foto: ilustrasi Jerome Powell (Edward Ricardo/ CNBC Indonesia)

Jakarta, CNBC Indonesia - Mata uang global tidak dapat menunjukkan performanya di tengah tingginya suku bunga Amerika Serikat (AS). Mata uang global relatif terpuruk melawan dolar AS, seperti Pound British, Euro, hingga Yuan China.

Merujuk data Refinitiv, secara year to date (ytd), mata uang Pound British melemah paling signifikan terhadap dolar Amerika Serikat (AS) sebesar 7,05%, kemudian disusul oleh Yen dengan -6,86%. Sedangkan kinerja terbaik ditempati oleh Swiss Franc dengan penguatan 6,96% terhadap dolar AS. Sementara indeks dolar AS menguat hanya 2,53% pada tahun ini.

Perkasanya dolar AS sebagai mata uang global yang sangat populer ini tak lepas dari kondisi tingkat suku bunga AS yang terus mengalami kenaikan perihal menghadapi inflasi yang kian tinggi. Inflasi AS bahkan sempat menyentuh 9,1% year on year (yoy) pada Juni 2022 atau beberapa bulan meledaknya peristiwa perang Rusia-Ukraina.

Dengan tingginya inflasi tersebut, alhasil Bank Sentral AS (The Fed) berusaha untuk menaikkan suku bunga dari Februari 2022 sebesar 0,25% menjadi 5,25-5,50% pada Juni 2023 dan The Fed masih berpotensi menaikkan suku bunganya tergantung pada perkembangan data ekonomi.

Dengan kenaikan tersebut, maka Fed Funds Rate (FFR) meningkat 11 kali dan meningkat sebanyak 525 basis poin sejak Maret 2022. Suku bunga di level saat ini 5,25-5,5% merupakan yang tertinggi sejak tahun 2001 atau 22 tahun terakhir.

Meskipun hasil kenaikan suku bunga ini sesuai dengan ekspektasi pasar, namun Chairman The Fed Jerome Powell dalam konferensi pers mengisyaratkan masih ada kemungkinan kenaikan suku bunga ke depan.

Dalam keterangannya usai menggelar rapat Federal Open Market Committee (FOMC), Powell mengingatkan jika inflasi saat ini masih jauh dari target The Fed. Untuk diketahui bahwa target inflasi AS yakni 2% dan saat ini inflasi AS melandai ke 3% (yoy) pada Juni 2023 sementara tingkat pengangguran tercatat 3,6% pada Juni.

Secara sederhana, suku bunga yang tinggi menyebabkan capital inflow ke negara tersebut. Hal ini terjadi karena imbal hasil yang menarik. Deposito dan obligasi akan jadi menarik bagi investor. Alhasil, mata uang negara tersebut pun akan menguat.

Hal lain yang perlu diperhatikan yakni spread antara suku bunga AS dengan negara lainnya. Ketika suku bunga AS lebih tinggi dari suku bunga negara lainnya dan disertai dengan spread yang tinggi, maka potensi penguatan mata uang dolar AS akan semakin tinggi. Hal ini dapat terlihat antara suku bunga AS dan Jepang.

Pelemahan Yen Jepang dalam setahun terakhir terlihat sebesar 6,86%. Hal ini terjadi karena suku bunga yang sangat rendah yakni sebesar -0,1% per Juni 2023 dan sudah bertahan sejak 2016. Bahkan Bank Sentral Jepang (BoJ) tetap bersikukuh untuk mempertahankan suku bunga acuan ultra rendahnya di tengah lonjakan suku bunga global.

Namun berbeda halnya dengan Swiss, meskipun suku bunganya tergolong rendah yakni 1,75% per Juni 2023, namun Swiss dengan mata uangnya Franc relatif mengalami penguatan dibandingkan dolar AS. Hal ini tak lepas karena tingkat inflasi yang dapat terjaga meskipun pada 2020 terjadi pandemik Covid-19 dan pada 2022 terjadi perang Rusia-Ukraina.

Sebagai informasi, ketika Covid-19 terjadi, Swiss mengalami deflasi bahkan di bawah 1% sedangkan pada 2022, inflasi terjadi namun tidak lebih dari 4%. Hal ini mengindikasikan guncangan perekonomian tidak terlalu berdampak signifikan bagi Swiss. Selain itu, mata uang Swiss menjadi lebih kuat dan stabil karena didukung dengan perekonomian Swiss yang kuat, sistem perbankan yang maju, dan diikat dengan standar emas sehingga berstatus safe currency.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]


(rev/rev)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Gak Mau Kompak, Mata Uang China dan Jepang Beda Arah Hari Ini

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular