Breaking News! Rupiah Perkasa, Dolar Jatuh ke Bawah Rp 15.000
Jakarta, CNBC Indonesia - Rupiah menguat tajam terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada hari ini menyambut membaiknya data inflasi Amerika Serikat (AS). Rupiah bahkan mampu kembali ke level Rp 14.000 setelah enam hari terbenam di kisaran Rp 15.000.
Berdasarkan data Refinitiv, Rupiah dibuka menguat tajam 0,97% ke posisi Rp 14.930/US$1 pada hari ini, Kamis (13/7/2023). Rupiah kemudian sedikit melemah ke posisi Rp 14.960/US$1. Posisi tersebut lebih kuat 0,76% dibandingkan penutupan kemarin.
Penguatan rupiah hari ini memperpanjang tren positif rupiah yang sudah menguat pada dua hari perdagangan sebelumnya.
Apresiasi Rupiah disokong oleh faktor eksternal maupun internal.
Dari faktor eksternal, rilisnya data inflasi Amerika Serikat (AS) pada Rabu (12/7/2023) di mana inflasi AS melandai menjadi 3% (year on year/yoy) untuk Juni 2023. Melandainya inflasi AS menjadi kabar gembira karena ekspektasi pasar melihat pelonggaran kebijakan moneter AS bisa terwujud.
Laju inflasi AS pada Juni lebih rendah dibandingkan pada Mei yang tercatat 4% (yoy) serta jauh di bawah ekspektasi pasar yang memproyeksi inflasi Juni sebear 3,1%. Laju inflasi Juni juga menjadi yang terendah sejak Maret 2021.
Sedangkan inflasi inti AS mencapai 4,8% (yoy) pada Juni 2023, dari 5,3% (yoy) pada bulan sebelumnya dan ekspektasi pasar di 5,0% (yoy).
Laju inflasi AS mendekati target Bank Sentral Amerika Serikat (The Fed) sebesar 2% diperkirakan akan membuat The Fed agar sedikit melunak. Meskipun begitu, Ketua The Fed Jerome Powell menegaskan akan kembali menaikkan suku bunga setelah sempat menahannya pada Juni 2023.
Meskipun inflasi AS telah turun dengan tajam dan sudah semakin dekat dengan target The Fed yakni 2%, namun CME FedWatch Tool memperkirakan 92,4% kemungkinan The Fed menaikkan suku bunga acuan sebesar 25% pada bulan ini menjadi 5,25-5,50%.
Dukungan sentimen positif dari negara paman sam tersebut menjadi angin segar bagi investor asing untuk mengalokasikan dananya di emerging market, seperti Indonesia.
Dana asing yang sebelumnya keluar berpotensi kembali ke pasar saham atau rupiah. Konsekuensinya, pasar saham dan rupiah diperkirakan akan naik dan menguat.
Beralih ke Negara Tirai Bambu, sentiment negatif datang dari negara China. Sebagai negara dengan target ekspor terbesar Indonesia, ekspor diperkirakan mengalami koreksi 9% pada Juni. Angka ini jauh lebih besar dari koreksi 7,5% pada bulan lalu. Sedangkan impor diperkirakan terkoreksi 4%. Impor yang negatif menandakan bahwa tingkat daya beli China masih lesu. Alhasil, pasar keuangan Indonesia akan kena imbasnya.
Perlu diketahui pada hari ini, rilisnya data ekonomi neraca dagang China dan ekspor China patut dicermati bagi investor. Sebab data yang melandai akan berpengaruh pada kondisi ekonomi Indonesia.
Sentimen dalam negeri pun tak kalah pentingnya setelah tingginya minat surat utang negara (SUN) turut mendorong permintaan rupiah. Hasil lelang kemarin menunjukkan total penawaran yang diterima pemerintah pada lelang mencapai Rp 47,79 triliun. Jumlah tersebut meningkat dibandingkan dengan penawaran pada lelang sebelumnya yang mencapai Rp 37,56 triliun.
Surat utang seri benchmark tenor 5 dan 10 tahun sangat diminati investor dengan penawaran Rp 29,93 triliun atau 56,53% dari total penawaran. Tawaran yang datang dari investor asing juga meningkat tajam menjadi Rp 9,66 triliun pada lelang kemarin dibandingkan lelang sebelumnya yang tercatat Rp 5,93 triliun.
CNBC INDONESIA RESEARCH
research@cnbcindonesia.com
(rev)