Bursa Asia Cerah Meski Ekonomi China Kehilangan Momentum
Jakarta, CNBC Indonesia - Bursa Asia-Pasifik ditutup bervariasi dengan mayoritas menguat pada perdagangan Senin (10/7/2023), di tengah ancaman deflasi yang bakal menghantam China.
Indeks Hang Seng Hong Kong ditutup menguat 0,62% ke posisi 18.479,721, Shanghai Composite China bertambah 0,22% ke 3.203,7, Straits Times Singapura tumbuh 0,31% ke 3.149,32, dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berakhir terapresiasi 0,22% menjadi 6.731,04.
Sedangkan untuk indeks Nikkei 225 Jepang ditutup melemah 0,61% ke 32.189,699, ASX 200 Australia terkoreksi 0,54% ke 7.004, dan KOSPI Korea Selatan terpangkas 0,24% menjadi 2.520,7.
Dari China, inflasinya pada Juni 2023 kembali turun dan membuat pasar khawatir bahwa China akan mengalami deflasi.
Berdasarkan data dari Biro Statistik Nasional (NBS) China, melaporkan indeks harga konsumen (consumer price index/CPI) turun menjadi 0% pada Juni 2023 (year-on-year/yoy), dari sebelumnya pada Mei lalu sebesar 0,2%.
Angka tersebut lebih rendah dari ekspektasi dalam survei ekonom yang memperkirakan inflasi sebesar 0,2% dan dibandingkan dengan angka Mei lalu sebesar 0,2% (yoy). Sedangkan CPI inti, yang tidak termasuk biaya makanan dan energi yang bergejolak, melambat menjadi 0,4%, dari 0,6%.
Data inflasi ini menambah bukti bahwa pemulihan ekonomi China tengah kehilangan momentum. Kekhawatiran deflasi telah meningkat dalam beberapa bulan terakhir, membebani kepercayaan konsumen.
Adapun untuk inflasi berdasarkan producer price index (PPI) China juga turun lebih cepat yaitu 5,4%, dibandingkan penurunan pada Mei lalu dan sebagai laju terdalam sejak Desember 2015.
Ahli Statistik NBS, Dong Lijuan memaparkan bahwa deflasi harga produsen dipicu oleh penurunan harga komoditas internasional yang berkepanjangan. Penurunan harga minyak dan batu bara yang terus berlanjut.
Hal ini kemungkinan akan mendorong lebih banyak spekulasi mengenai potensi stimulus yang mungkin akan diberikan untuk menopang perekonomian.
Produsen di China telah mempersiapkan diri selama berbulan-bulan untuk menghadapi harga-harga komoditas yang lebih rendah disertai dengan permintaan yang lemah di dalam dan luar negeri.
Di lain sisi, jika konsumen maupun pelaku bisnis terus menahan diri untuk tidak belanja atau berinvestasi dengan harapan harga-harga akan turun, hal ini dapat menyebabkan spiral penurunan harga yang akan terjadi dengan sendirinya.
Sementara itu, investor juga menanti rilis data inflasi Amerika Serikat (AS) pada Rabu dan Kamis pekan ini. Data CPI AS akan dirilis pada Rabu waktu setempat, sedangkan data PPI akan dirilis esok harinya.
Konsensus ekonom menyebut, CPI tahunan AS per Juni akan turun menjadi 3,1% dari bulan sebelumnya 4%, dan menandai laju tahunan paling lambat sejak Maret 2021.
Setali tiga uang, CPI inti tahunan juga diperkirakan akan melandai ke 5% dari bulan sebelumnya 5,3%.
Sementara PPI, yang merupakan inflasi dari sudut pandang produsen dan grosir, diproyeksikan naik 0,2% bulan lalu, setelah turun 0,3% di Mei.
PPI kemungkinan naik hanya 0,2% dari posisi tahun lalu, yang akan menandai kenaikan tahunan terkecil sejak September 2020, dan dibandingkan dengan puncak 11,7% pada Maret tahun lalu.
Wall Street tentu ingin melihat penurunan lanjutan inflasi demi mengetahui apakah rencana bank sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) terkait pengetatan moneter berhasil atau Jerome Powell cs tetap masih akan hawkish ke depan.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(chd/chd)