Digoyang 'Bom Baru' Amerika-China, Rupiah Kembali Keok

mza, CNBC Indonesia
Kamis, 06/07/2023 15:16 WIB
Foto: Ilustrasi dolar Amerika Serikat (USD). (CNBC Indonesia/ Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah kembali melemah terhadap dolar Amerika Serikat (AS), sehingga ditutup di atas level psikologis Rp 15.000/US$.

Merujuk data Refinitiv, rupiah di pasar spot ada di posisi Rp 15.040/US$. Rupiah terkoreksi 0,2% hari ini (6/7/2023). 

Pada perdagangan kemarin, Rabu (5/7/2023), rupiah ditutup terkoreksi 0,13% ke posisi Rp 15.010/US$. Posisi penutupan pada hari ini merupakan yang terendah sejak 30 Maret 2023 atau 3 bulan lebih.


Koreksi mata uang Garuda hari ini diperparah akibat adanya tekanan eksternal. Dini hari tadi, bank sentral AS The Federal Reserve (The Fed)  mengeluarkan risalah Federal Open Market Committee (FOMC).
Dalam risalah tersebut, The Fed mengisyaratkan kenaikan suku bunga tetapi dalam tingkatan yang lebih rendah atau tempo yang lebih lambat.
Berdasarkan risalah tersebut, hanya dua dari 18 partisipan yang menginginkan kenaikan sekali lagi. Sebanyak 12 partisipan menginginkan kenaikan dua kali lagi atau lebih.

Kenaikan suku bunga The Fed tentu saja menjadi kabar buruk bagi rupiah dan  mata uang Emerging Market lainnya. Pasalnya, kenaikan suku bunga akan membuat dolar semakin perkasa karena menjadi incaran banyak investor.

Khoon Goh, Kepala Riset ANZ, menyatakan pada Reuters bahwa kenaikan suku bunga The Fed lebih dari yang diharapkan sebelumya "itu dapat memperlebar perbedaan imbal hasil dan memberikan tekanan lebih lanjut pada mata uang Asia."

Mayoritas mata uang Asia melemah dibanding dolar AS diantaranya baht Thailand, yen Jepang, won Korea, dan ringgit Malaysia. Padahal, Negeri Jiran sedang menantikan keputusan suku bunganya.
Namun, survei Reuters menunjukkan Bank Negara Malaysia (BNM) akan mempertahankan suku bunganya berada di 3%.

Ambruknya rupiah dan mata uang Asia lainnya juga disebabkan oleh ketegangan China dan Amerika Serikat (AS) terkait ekspor bahan chip semi konduktor.

Melansir Wall Street Journal (WSJ), Senin (4/7), China menerapkan pembatasan ekspor pada dua mineral yang menurut AS sangat penting untuk produksi semikonduktor, sistem rudal, dan sel surya. Ini bisa jadi bentuk pamer 'otot' ala China menjelang pembicaraan ekonomi antara dua negara tersebut.

Mineral yang dimaksud, yakni gallium dan germanium, bersama dengan lebih dari lusinan material terkait lainnya akan tunduk pada kontrol ekspor yang tidak dijelaskan secara rinci mulai 1 Agustus mendatang, seperti yang diumumkan oleh Kementerian Perdagangan Beijing pada Senin.
Kisruh China dan AS terkait gallium dan germanium seperti 'bom baru' bagi hubungan kedua negara.

Ketegangan AS dan China tersebut membuat pelaku pasar keuangan global khawatir sehingga investor menarik modal dan investasi mereka dari Asia dan Emerging Market. Capital outflow pun membuat mata uang rupiah goyang.

Eko Listiyanto, Wakil Direktur INDEF, memandang dinamika rupiah disebabkan oleh tantangan global sepanjang 2023 ini. Beliau menambahkan pergerakan rupiah akan cukup stabil berada di kisaran Rp 15.000/US$.

Eko mengatakan, "Dari sisi nilai tukar fluktuasinya, tidak seganas tahun lalu sampai akhir tahun." Secara jangka panjang, beliau merasa mata uang rupiah akan cukup stabil yang didukung oleh penurunan inflasi yang konsisten.


(mza/mza)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Perang Bikin Rupiah Anjlok, Tembus Rp 16.400-an per Dolar AS